Pendopo "Utama" Jurnal di Tanah Borneo
UTAMA, standart yang dibuat sedemikian rupa dalam sebuah perkumpulan, merupakan sistim internal dan tidak diakui secara sosial atau akademis apalagi kelembagaan negara, dan tentu diabaikan oleh internal lain yang jelas tidak berkewajiban untuk menghormati "mahkota" buatan dapur orang lain, anggap mereka.
"Utama" tidak pandang bulu, mau IQ tegak hingga IQ jongkok, nilai pelajaran dahulu saat dibangku sekolah selalu minus pun berkesempatan meraihnya. Ada dugaan spekulatif "emblem" tersebut hanya gelar untuk menangkal merebaknya bodrek, sebenarnya.
Mungkin agak lebih masuk akal juga kalau tidak salah, "utama" dikatakan sebuah pelipur lara atas profesi yang dimakan oleh waktu atau upah lelah pengabdian ditempa puluhan tahun, hingga akhirnya bisa menulis secara hebat atau lumayan 5 hingga 8 paragraf yang sebenarnya 90% perkataan si sumber saja. Itu pun masih monoton dan tak kreatif dan masih miskin kosa kata, apabila tega disebutkan secara ekstrim atau kejam.
Suatu saat dalam capek seharian full berkelana mencari kabar bin kabar yang sangat menguras energi. Bayangkan saja, harus datang dari satu acara seremonial ke acara lainnya. Orang umum pun rasanya tidak akan mampu bila harus datang ke 5 acara kondangan dalam satu hari, mengobservasi acaranya, fokus menyimak, teler pastinya jiwa raga.
Pulang, masih dalam keadaan kelelahan yang payah harus menghimpun konsentrasi lagi untuk menuliskan peristiwa seluruh acara tadi secara cantik. Di HP pula, yang paragraf atas dan bawahnya tidak kelihatan ketika kita sedang berusaha menulis rangkaian alur ceritanya. Maka tulisan bisa seperti telur di ujung tanduk bagi yang jauh hidupnya dari pena dan buku (tak berbakat).
Syukurnya masih bisa lah walaupun pastinya agak kurang stabil. Pasti. Tulisan cerita atau sebut saja berita pun dikirim ke grub, tapi lama ditunggu tak kunjung "Up" atau terbit. Dalam grup pun terjadi dialog, sang utama pun melakukan koreksi-koreksi hal-hal tidak fatal, dicari-cari dan cenderung ingin menunjukan "utama."
Sementara itu cerita-cerita dari penggarap lain yang monoton, tak teratur dan dangkal lolos dari sortir sang "Utama". Mungkin memakai kaca mata klasifikasi sebagai muda dan madya yang cendrung membutakan objektifitas.
Kagetnya, dalam kondisi demikian si "Utama" yang diprotes muncul nada manipulatif, "dia tidak bisa menulis sama sekali," ujarnya. Bersikap superiority complex yang sebenarnya membuat lingkungan bisnis tidak sehat.
Barangkali juga kalau "utama" lain menulis disitu pasti langsung lolos, meskipun coretannya berantakan, karena faktor penghormatan buta di lingkungan narsistik kompetensi tersebut," ujar Amit.
Tulisan artikel ini ditulis dalam waktu di bawah satu jam, dan sudah 12 jam sejak si "utama" mengatakannya dan penulis tadi log out dari lingkungan tak sehat tersebut. Syukurlah tidak sampai 28 jam ia bergabung disitu. Artikel ini baru diterbitkan sekarang karena kesibukan berkelana.
Oke, jika tulisan cerita yang dianggap buruk oleh si "utama" tadi ditulis dalam kondisi kelelahan akut (walaupun sebenarnya normal saja bahkan di kanal lain diterima), maka tidak ada salahnya jika dibandingkan dengan tulisan si "utama" pada saat dirinya dalam suasana penuh canda tawa serta santai.
"Suasana hangat penuh keakraban, terjalin antara Kepala.... dengan Sekda Kab/kota...dan wartawan, tawa canda menggema diselingi untaian lagu yang cukup romantis, menciptakan suasana santai di Pendopo... Kantor, Selasa malam (17/12/2024).
Disini "Utama" mencoba mengungkapkan tulisan yang bernuansa puitis atau mungkin maunya tulisan feature, yang kalau menurut penghobi sastra pasti dianggap dipaksakan atau maaf, pasaran seperti dulu banyak diungkapkan di bangku sekolah menengah. Seperti masa kecil kita dahulu, bila disuruh guru melukis pemandangan pasti yang digambar padi dan sawah. Persis dengan yang di atas.
Bila diselidik lebih dalam, dikoyak-koyak tulisannya, perkataan dalam kalimat si "Utama" seperti tanpa paham apa yang ditulisnya, terlihat asal terkesan puitis saja.
Kata "menggema" adalah "memantul" tidak cocok dituliskan untuk menggambarkan suasana yang nyaman. Lagi pula di "pendopo" yang kontruksi bangunannya terbuka. Bagaimana terjadi pantulan suara dalam sastra "utama" ini? Mulai kelihatan.
"Suasana penuh keakraban, (koma) terjalin antara Kepala..." Sebenarnya tak perlu buru-buru meletakan tanda baca koma disitu karena baru saja pembukaan nafas saat pembaca mulai membaca.
Ternyata, "Utama" tadi setelah ditelisik bertitel pertanian. Nah, kompetensi sarjana yang dia menimba ilmu akademik disitu pun ternyata tidak membuatnya jadi utama di dunia pertanian. Rupanya di dunia wartalah ia bisa mendapatkan "jubahnya." Banyak lagi "utama dari ekonomi" atau "utama dari pendidikan."
Banyak sebenarnya yang perlu dipermak dari tulisan "utama" bila semuanya insaf, rasanya mending seperti dikatakan Henry CH Bangun :
"Di Indonesia juga ada media yang diterbitkan yayasan atau perkumpulan, tidak mau berbadan hukum perusahaan, dan independen. Karena mereka itu umumnya wartawan sekaligus aktivis, bagi mereka juga tidak penting sertifikat kompetensi...Yang jelas karya jurnalistiknya, kata orang Glodok, oke punya. Tidak ada masalah moral, karena mereka hanya menulis."
Penulis : M. Gazali Noor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI