Politik akomodatif mungkin menciptakan jabatan baru, tapi hanya empati yang bisa menciptakan perubahan._Jemi Kudiai
Mengapa harus pendekatan pada politik akomodatif dan tunpang tindi fungsi kelembagaan otsus Papua. Selama dua dekade pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua telah melahirkan banyak lembaga, regulasi, dan pejabat baru. Namun di tengah gegap-gempita kebijakan dan proyek pembangunan, muncul pertanyaan yang makin nyaring: apakah Otsus benar-benar menjadi ruang kemandirian bagi rakyat Papua, atau hanya panggung politik bagi segelintir elit yang sibuk mewakili tanpa menyentuh realitas masyarakat?
Otsus: Janji Keadilan yang Belum Terpenuhi
Otsus Papua sejatinya lahir dari keinginan negara untuk menghadirkan keadilan dan pengakuan bagi Orang Asli Papua (OAP). Ia diharapkan menjadi jalan tengah antara cita-cita integrasi nasional dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat.
Namun, setelah lebih dari dua dekade berjalan, hasilnya masih timpang. Indeks kemiskinan di banyak wilayah Papua tetap tinggi, pelayanan dasar belum merata, dan kepercayaan publik terhadap lembaga Otsus kian menurun. Dana triliunan rupiah yang digelontorkan setiap tahun belum banyak mengubah wajah kemiskinan struktural.
Masalahnya bukan semata pada kurangnya anggaran, melainkan pada arah dan tata kelola Otsus yang lebih sering dikendalikan dari atas, tanpa melibatkan rakyat sebagai subjek utama.
Politik Akomodatif: Kompromi Kekuasaan yang Membatasi Perubahan
Pembentukan berbagai lembaga seperti UP4B, BP3OKP, hingga yang terbaru Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua, menunjukkan pola yang sama: politik akomodatif menjadi strategi utama pemerintah pusat untuk meredam konflik dan menjaga stabilitas politik Papua.
Politik akomodatif di sini berarti upaya mengakomodasi berbagai kelompok elit baik politik, adat, maupun birokrasi agar mereka merasa dilibatkan dalam proses kebijakan. Secara teoritis, pendekatan ini bisa meredakan resistensi. Namun dalam praktiknya, ia sering berujung pada pembentukan lembaga yang lebih berfungsi sebagai arena kompromi kekuasaan ketimbang wadah perencanaan pembangunan yang berpihak kepada rakyat.
Penunjukan nama-nama anggota Komite Eksekutif, misalnya, memperlihatkan wajah lama politik representasi semu: figur-figur yang dekat dengan pusat kekuasaan, namun tidak selalu memiliki akar sosial di masyarakat Papua.