Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... Pemerhati Governace, Ekopol, Sosbud

Menulis berbagi cerita tentang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Membedah 10 Persen Saham Freeport: Antara Kepemilikan Daerah dan Otonomi Fiskal Papua

11 Oktober 2025   08:43 Diperbarui: 11 Oktober 2025   20:30 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto di depan Tugu Selamat Datang Nabire, Papua Tengan (Sumber: JK.doc)

Ketika pemerintah pusat menandatangani perjanjian divestasi saham Freeport pada 2018, harapan besar tumbuh di tanah Papua. Rakyat Papua percaya, inilah momentum bersejarah: emas dari perut bumi Mimika akhirnya sedikit kembali ke anak negeri. Namun delapan tahun berselang, pertanyaan mendasar muncul: saham 10 persen untuk Papua itu milik siapa? Apakah milik Provinsi Papua lama, atau milik Provinsi Papua Tengah yang kini menaungi Mimika lokasi tambang terbesar di dunia itu?

Saham yang Terbagi, Harapan yang Tergantung

Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (kini MIND ID) resmi memiliki 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia. Dari angka itu, 10 persen diserahkan kepada daerah Papua sebagai bentuk keadilan fiskal dan afirmasi otonomi khusus.

Kesepakatan yang ditandatangani antara Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Gubernur Papua, Bupati Mimika, dan Inalum menyebut: saham itu dikelola melalui BUMD PT Papua Divestasi Mandiri (PDM).

Namun, di atas kertas yang ditandatangani pada 2018 itu, belum ada Provinsi Papua Tengah. Saat itu, Mimika masih menjadi bagian dari Provinsi Papua. Sehingga, struktur hukum dalam Perda Nomor 7 Tahun 2018 dan Perda Nomor 1 Tahun 2020 hanya mengakui dua pemilik: Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika.

Ketika Provinsi Baru Lahir, Saham Jadi Sengketa

Situasi berubah drastis pada 2022. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022, Mimika resmi masuk wilayah Provinsi Papua Tengah.

Dengan logika administratif dan geografis, seharusnya seluruh aset daerah termasuk saham PDM menjadi bagian dari Papua Tengah. Namun hingga kini, BUMD PT Papua Divestasi Mandiri masih dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Papua lama.

Kondisi ini memunculkan paradoks: tambang Freeport berada di wilayah Papua Tengah, tetapi keuntungan sahamnya masih dikelola oleh provinsi induk.

Inilah yang membuat sejumlah tokoh dan akademisi, termasuk anggota DPR Papua John NR Gobai, menilai bahwa Papua Tengah memiliki dasar hukum dan moral untuk menuntut hak atas saham divestasi tersebut.

Politik dan Kepentingan di Balik Angka 10 Persen

Angka "10 persen" itu tampak sederhana, tetapi di baliknya tersimpan kompleksitas hukum, politik, dan ekonomi.

Ada versi yang menyebut pembagian saham 7 persen untuk Kabupaten Mimika dan 3 persen untuk Provinsi Papua. Ada pula versi 5-5. Tak satu pun diatur secara tegas dalam peraturan pemerintah, hanya dituangkan dalam nota kesepahaman internal yang belum disahkan menjadi keputusan hukum yang final.

Ketika Papua dimekarkan, tidak ada klausul transisi saham dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan. Akibatnya, saham tersebut menggantung di antara dua entitas: provinsi lama dan provinsi baru.

Ironisnya, masyarakat Mimika yang hidup berdampingan dengan tambang raksasa itu justru hanya menjadi penonton.

Freeport dan Keadilan yang Belum Menyentuh Rakyat

Meski nilai kontribusi Freeport untuk Papua Tengah disebut mencapai Rp11 triliun pada 2024, sebagian besar dana itu masih masuk ke kas pusat dan perusahaan induk. Sementara masyarakat lokal belum merasakan dampak nyata berupa pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang berkeadilan.

Di distrik-distrik sekitar Tembagapura, anak-anak masih menulis di atas meja reyot, dan banyak honai masih berdinding ilalang. Ironisnya, setiap hari ribuan ton bijih emas dan tembaga diangkut keluar dari tanah mereka.

Saham yang seharusnya menjadi simbol kemandirian, berubah menjadi simbol ketimpangan baru.

Otonomi Khusus Harus Berarti Keadilan Ekonomi

Otonomi Khusus Papua tidak boleh berhenti pada angka transfer dana dari APBN. Ia harus berarti redistribusi kekayaan secara nyata.

Jika saham Freeport hanya berhenti di meja birokrat provinsi, maka semangat Otsus kehilangan maknanya.

Pemerintah pusat perlu meninjau ulang struktur kepemilikan PDM dan memastikan Papua Tengah serta masyarakat Mimika mendapat hak yang proporsional dan berkeadilan.

Keadilan ekonomi adalah jantung dari otonomi khusus. Tanpa kejelasan atas kepemilikan saham Freeport, maka seluruh narasi "Papua sejahtera" hanya akan menjadi jargon politik yang hampa makna.

Papua Tengah tidak meminta lebih hanya menuntut apa yang menjadi haknya: bagian sah dari kekayaan yang diambil dari tanahnya sendiri.

Penutup

Kini saatnya pemerintah pusat, MIND ID, dan pemerintah daerah duduk bersama menata ulang kepemilikan saham Freeport secara transparan dan berbasis hukum.

Revisi Perda 1 Tahun 2020 atau pembentukan BUMD baru di bawah Provinsi Papua Tengah bisa menjadi jalan tengah.

Langkah ini bukan sekadar urusan bisnis, tetapi soal martabat dan keadilan fiskal bagi rakyat Papua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun