2. Kemandirian budaya -- Babi untuk kebutuhan adat tidak lagi harus didatangkan dengan harga tinggi dari luar daerah. Ini memperkuat kedaulatan budaya dan adat Deiyai.
3. Kemandirian daerah -- Jika ekonomi dari babi bergerak, perputaran uang terjadi di dalam Deiyai. Perekonomian lokal menjadi lebih hidup, tidak selalu menunggu dana dari pusat.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Meski potensinya besar, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan:
Pakan dan gizi: Jika hanya mengandalkan cara tradisional, pertumbuhan babi lambat. Perlu inovasi pakan lokal berbasis sisa pertanian atau teknologi fermentasi.
Kesehatan ternak: Penyakit babi pernah menghantam Papua. Tanpa pendampingan dokter hewan dan vaksinasi, kerugian bisa besar.
Akses pasar: Babi yang sudah besar butuh saluran distribusi. Pasar lokal mungkin terbatas, sehingga perlu jaringan ke daerah lain, bahkan peluang ekspor regional.
Oleh karena itu, keberhasilan program tidak hanya diukur dari jumlah bibit yang dibagikan, tetapi dari sejauh mana pemerintah mendampingi masyarakat dalam pemeliharaan modern, akses pakan, kesehatan ternak, dan pasar hasil panen.
Belajar dari Daerah Lain
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), babi sudah menjadi salah satu tulang punggung ekonomi keluarga. Peternakan babi dikelola secara serius, bahkan produk olahan daging babi bisa menembus pasar ke Bali dan luar negeri.
Deiyai dapat mencontoh hal serupa, dengan keunggulan budaya adat yang lebih kuat. Jika pola pengelolaan modern diterapkan, Deiyai berpeluang menjadi sentra babi terbesar di Papua, bahkan menjadi pemasok utama untuk provinsi lain di Indonesia Timur.