Dosen Pengampu :Â
- Dr. Fajar Khaify Rizky S.H., M.H.
- Â Dr. Rosmalinda S.H., LLM.
Pernah dengar istilah Sekstorsi?, mungkin sebagian dari kita masih asing dengan kata ini. Tapi hat-hati, karena praktiknya bisa terjadi di sekitar kita bahkan tanpa kita sadari!.Â
Ditengah pesatnya perkembangan teknologi digital, bentuk-bentuk kekerasan seksual pun ikut berevolusi. Salah satu yang kini banyak menjerat korban terutama perempuan adalah sekstorsi. Sekstorsi berasal dari kata sexual extortion yang artinya pemerasan seksual, merupakan kejahatan seksual berbasis gender online (KBGO) yang dilakukan dengan cara memeras dan/atau mengeksploitasi korban secara materi maupun seksual. Dalam konteks lain, sekstorsi juga termasuk bentuk khusus dari korupsi non-finansial. Secara konsep, korupsi terjadi ketika seseorang menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadinya. Bisanya keuntungan itu berupa uang, tetapi dalam sekstorsi keuntungan yang diminta bukan uang, melainkan layanan seksual. Hal ini umumnya menimpa perempuan. Â Â
Modus yang dilakukan pelaku yakni dengan cara mengancam akan menyebarluaskan konten pornografi milik korban, dimana konten pornografi yang didapatkan pelaku diperoleh dengan memperdaya atau mengancam korban dengan cara menggunakan metode hacking. Berdasarkan Global Corruption Barometer tahun 2020, Indonesia merupakan negara dengan tingkat sekstorsi tertinggi di Asia, yaitu 18 persen. Dari 1.000 orang yang disurvei, 18 persen di antaranya pernah mengalami langsung atau mengenal seseorang yang mengalami sextortion. Tingkat ini dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata negara Asia yang berada di kisaran 8 persen.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, memberikan difinisi pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,  bunyi,  gambar  bergerak, animasi,  kartun,  percakapan,  gerak  tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat.kecabulan  atau  eksploitasi  seksual  yang melanggar   norma   kesusilaan   dalam masyarakat. Setelah korban terperdaya dan mengirimkan  foto  atau  video  tersebut, pelaku  kemudian  akan  menggunakan  dan memanfaatkan   objek   tersebut   untuk memeras korban. Pelaku sekstorsi umumnya adalah orang yang memiliki kedekatan dengan korban dan memanfaatkan kepercayaan korban untuk memperdayainya. Berdasarkan data dari Thorn and the Crimes Against Children Research Center, dari 1.631 korban sekstorsi yang diteliti, sekitar 40% di antaranya mengenal pelaku melalui dunia maya, sementara 54% kasus sekstorsi terjadi melalui platform media sosial.
Adanya perbuatan sekstorsi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi korban, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, "Setiap orang setiap orang berhak atas  perlindungan diri pribadi,  keluarga,  kehormatan,  martabat, dan   harta   benda   yang   di   bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan  perlindungan  dari  ancaman  ketakutan untuk  berbuat  atau  tidak  berbuat  sesuatu yang merupakan hak asasi." Korban sekstorsi akan mengalami ketidaknyamanan seperti rasa takut dan malu akibat ancaman penyebaran foto atau video pribadi yang mengandung unsur pornografi oleh pelaku.
Dari sisi hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk menindak pelaku sekstorsi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas mengatur mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal 14 UU TPKS menyebutkan bahwa setiap orang yang memaksa, mengancam, atau memeras korban menggunakan konten seksual termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual. Pelaku dapat dipidana penjara hingga 9 tahun dan/atau denda hingga Rp500 juta, tergantung tingkat kesalahannya.
Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga bisa menjerat pelaku yang menyebarkan atau mengancam akan menyebarkan konten pribadi korban. Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang setiap orang mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya konten yang melanggar kesusilaan di ruang digital.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Diperlukan pula peningkatan literasi digital dan kesadaran sosial agar masyarakat lebih memahami bahwa sekstorsi bukan aib, melainkan kejahatan yang harus dilawan bersama. Korban sekstorsi berhak mendapatkan perlindungan, pemulihan, dan dukungan tanpa rasa takut atau malu. Sebagai generasi yang hidup di era digital, kita perlu lebih bijak dalam berinteraksi di dunia maya. Jangan mudah membagikan data pribadi atau konten sensitif, dan selalu waspada terhadap upaya manipulasi dari pihak lain. Jika menjadi korban, segera cari bantuan hukum atau laporkan kepada lembaga perlindungan perempuan dan anak agar kasus tidak terus berlanjut.
DAFTAR PUSTAKA :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945