Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Tanahku Sayang, Tanahku Malang

23 Maret 2021   22:08 Diperbarui: 5 November 2021   19:38 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh diatas masihlah hanya gambaran dari begitu banyak jenis tanaman pertanian maupun perkebunan yang sangat menjanjikan.

Sebenarnya saya belum memperhitungkan secara rinci terkait biaya produksi tetapi dari produktivitas yang ada dapat dilihat betapa menggiurkan bila sektor pertanian yang dikelola oleh “Pak Tua” di kampung diolah oleh anak-anak muda dengan didukung akses informasi melalui internet dan sarana pendukung teknologi lainnya plus jaringan yang lebih profesional  dalam pemasaran. 

Angka penghasilan bertani atau berkebun dengan peninggalan tanah dari orang tua akan jauh lebih besar dari sekedar menjadi “kuli kota” atau pekerja sebagai “abdi negara”.

Jadi mengapa Pak Tua juga tidak ngotot agar si anak mengolah tanah untuk masa depanya? 

Setidaknya banyak faktor sehingga nasib tanah di kampung atau desa tidak menjadi primadona dan menjanjikan secara penghasilan oleh generasi muda (asumsi bila tanah sudah diwariskan dan tidak perlu beli). 

Pertama, (maaf) ada yang salah dalam budaya pendidikan kita. Saya saja termasuk terdidik sebagai seorang pekerja administrasi dibandingkan sebagai “risk taker” karena di dunia pendidikan melulu menghabiskan waktu cuman mengejar IPK dan gelar sarjana. 

Pola pendidikan dari semua level terfokus pada teori bukan praktik nyata yang merangsang kreatifitas. Bahkan saat ini setelah terjun ke dunia nyata rasa-rasanya “tertipu” dengan buku-buku textbook yang mengajarkan ilmu dan budaya ekonomi kapitalis yang lebih bersifat praktis dan jauh dari realitas keunggulan negeri yang sifatnya agraris. Terkesan di “nina bobo”kan sehingga gagal dalam berkekspresi maupun prestasi nyata. 

Kedua, gengsi berbaju “dinas” yang membudaya sebagai pekerjaan yang lebih terhormat daripada pekerja “lapangan” yang kotor, bau, dan jelek. Coba aja kita tanyakan kepada diri kita atau orang lain apa gambaran dalam otak kita dengan kata “petani”.

Saya yakin di benak kita langsung terlukis seorang kakek memakai topi caping, memegang cangkul dan baju yang acak-acakkan. Sepertinya terdoktrin sejak kita masih kecil akan petani yang kumal dan tua. 

Ketiga, secara bisnis dan keuangan belum ada jaminan terhadap sektor pertanian maupun perkebunan untuk mendapatkan garansi harga dan distribusi yang baik dari pemerintah. Bahkan kecenderungannya dikorbankan sehingga kebijakan pertanian belum memihak ke petani. 

Ini menjadi berat sehingga rasa-rasanya kepastian akan pegangan hidup dari bertani atau berkebun masih jauh dari kata sejahtera dan memiliki kepastian hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun