Promosi: Antara Strategi dan Naluri Digital
Rahhafis paham bahwa musik bagus saja tak cukup. Di era digital, promosi adalah kunci. Ia aktif di media sosial, mengunggah potongan video, teaser lagu, hingga beat ciptaannya ke YouTube. Namun ia juga realistis: distribusi ke platform besar seperti Spotify membutuhkan pihak ketiga agar sistem pembagian hasil lebih adil.
“Saya sedang cari jalur fair-to-fair, supaya bisa sustain secara ekonomi juga. Karena di musik, bukan cuma soal berkarya tapi juga bertahan,” ujarnya lugas.
Struggle dan Solusi: Dari Medan ke Jogja
Tak mudah membangun nama dari nol, apalagi setelah hijrah dari Medan ke Jogja. “Di Medan dulu saya udah punya circle, branding udah kebentuk. Di Jogja harus mulai lagi dari awal. Dulu sempat manggung cuma dikasih nasi kotak, bahkan kadang nggak dibayar. Tapi ya itu semua proses,” kenangnya.
Kini, ia membagi waktu antara kuliah, berkarya, dan kerja freelance. Hari kerja ia fokus akademik, sementara akhir pekan jadi waktu produksi lagu. Kadang, jika ada klien mendesak, ia membuat bumper atau jingle musik di malam hari, setelah tugas kuliah rampung. Jadwal padat itu tak membuatnya gentar, justru jadi pemacu semangat.
Masa Depan Musik dan Mimpi Multidisipliner
Meski akar utamanya di musik, Rahhafis punya ketertarikan besar pada dunia visual dan penulisan. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, ia ingin menguasai aspek audio visual, film, bahkan copywriting. “Mau nggak mau kita harus bisa semua. Audio, visual, nulis. Karena dunia komunikasi menuntut kita fleksibel,” katanya.
Ia juga bermimpi bisa berkolaborasi dengan idolanya, Tuan 13 dan Insting, bukan sekadar untuk popularitas, tapi sebagai bagian dari proses belajar dan penguatan karakter musikalnya.
Pesan untuk Anak Muda: Bikin Ruang Sendiri