Mohon tunggu...
Jausyan Kabir
Jausyan Kabir Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan Masyarakat

Umur sudah kepala 4, rambut sudah memutih, dan berusaha selalu ingat kematian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BPKP Masih Menghitung, Publik Sudah Menghukum

22 September 2025   20:54 Diperbarui: 22 September 2025   20:54 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bayangkan seorang guru yang menuduh muridnya menyontek sebelum sempat membuka lembar jawaban ujian. Logikanya tidak masuk akal, bukan? Tetapi persis itulah yang terjadi ketika Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa negara rugi Rp1,98 triliun dalam pengadaan Chromebook---sementara BPKP, lembaga yang sah menghitung, masih berkata: "Kami sedang menghitung."

Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana mungkin unsur kerugian negara sudah dipakai untuk menetapkan tersangka, padahal hasil final audit belum ada?

---

Kejanggalan pertama: prosedur hukum yang terbalik.
Dalam hukum tipikor, kerugian negara bukan sekadar angka, melainkan unsur mutlak. Harus nyata, harus terukur, harus final. Mahkamah Konstitusi tahun 2016 menegaskan hal itu: kerugian negara tidak boleh sekadar potensi atau asumsi. Namun di kasus Chromebook, justru angka "perkiraan" dijadikan dasar hukum. Ini ibarat membangun rumah di atas fondasi yang masih berupa pasir.

Kejanggalan kedua: peran BPKP yang ironis.
BPKP sejak awal ikut mendampingi proyek ini. Mereka mengawasi, memberi rekomendasi, melakukan uji petik ke sekolah. Artinya, mereka tahu persis harga barang, biaya distribusi, lisensi software, sparepart, hingga TKDN. Tetapi mengapa ketika diminta menghitung kerugian negara, seolah-olah mereka baru berangkat dari titik nol? Logika sederhana mengatakan: jika mengawasi dari awal, mestinya punya data siap pakai. Keterlambatan ini menimbulkan kesan bahwa masalahnya bukan pada teknis, melainkan pada posisi BPKP yang serba salah.

Kejanggalan ketiga: angka Rp1,98 triliun yang diumumkan lebih dulu.
Publik disuguhi angka jumbo tanpa tahu metodologinya. Angka itu bekerja seperti bom psikologis: semakin besar, semakin mudah membangkitkan kemarahan publik. Media mengulang-ulang, masyarakat awam pun yakin negara telah dirampok. Padahal, selisih harga pabrik dengan harga kontrak bisa dijelaskan dengan faktor wajar: distribusi nasional, garansi 3--5 tahun, lisensi manajemen perangkat, sparepart, hingga biaya TKDN. Angka tanpa konteks hanyalah angka, bukan kebenaran.

Kejanggalan keempat: dilema kelembagaan.
BPKP ada di persimpangan jalan. Jika mereka menyebut ada kerugian, maka mereka menyalahi peran pengawasan yang sejak awal mereka lakukan. Jika menyebut tidak ada kerugian, mereka berhadapan dengan Kejaksaan yang sudah lebih dulu menggiring opini. Tidak heran hasil audit final tak kunjung keluar. Ini bukan sekadar masalah perhitungan teknis, tetapi juga persoalan politik dan tarik-menarik antar institusi.

---

Mari kita jujur: publik mudah terbius angka besar. Rp1,98 triliun terdengar seperti harta karun yang hilang, seakan uang rakyat menguap begitu saja. Tetapi di balik angka itu, ada ribuan sekolah yang menerima barang nyata, ada guru dan murid yang memanfaatkan perangkat untuk belajar. Mengabaikan kenyataan ini sama saja menutup mata terhadap fakta di lapangan.

Dan di sinilah bahaya terbesar: jika logika "angka dulu, audit belakangan" dibiarkan, maka setiap kebijakan bisa dikriminalisasi. Menteri yang berani membuat terobosan digitalisasi bisa tiba-tiba disebut merugikan negara hanya karena harga kontrak lebih tinggi dari harga pabrik. Besok lusa, siapa pun pejabat publik bisa diperlakukan sama.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun