Pagi itu Ibu Ani, guru di Bone, menyalakan 20 laptop barunya. Satu per satu anak masuk ke akun belajar, tawa campur degup ingin tahu. "Bu, kenapa layarnya cepat?" tanya seorang murid. Ibu Ani tersenyum---lalu malamnya ia membaca berita: "Pengadaan laptop rugikan negara triliunan." Di kepalanya, wajah anak-anak itu bertabrakan dengan angka fantastis yang mendadak terasa seperti vonis moral. Apakah benar tawa di kelas itu dibangun di atas uang yang "hilang"? Atau kita sedang terjebak cara menghitung yang salah kaprah?
Di satu sisi, aparat penegak hukum menonjolkan klaim kerugian dengan selisih harga yang besar---seolah logikanya sesederhana: harga kontrak lebih tinggi daripada harga pabrik = rugi negara. Di sisi lain, para praktisi pengadaan dan teknolog mengingatkan: harga pabrik hanyalah angka mentah. Pengadaan pemerintah memanggul biaya yang tak tampak di etalase ritel: distribusi ke puluhan ribu sekolah, garansi & SLA bertahun-tahun, suku cadang, lisensi manajemen perangkat, kepatuhan regulasi, TKDN, hingga margin wajar. Antara "angka headline" dan "struktur biaya", publik dipaksa memilih. Padahal, kebenaran yang adil sering lahir dari keduanya---tapi dengan metode yang tepat.
Cerita Ibu Ani bukan tunggal. Ada teknisi yang berkeliling kabupaten mengganti keyboard rusak; ada admin sekolah yang memasukkan ratusan akun murid ke konsol; ada orang tua yang melihat anaknya pertama kali mengetik tugas tanpa harus ke warnet. Manfaat publik jarang masuk headline. Padahal, justru titik ini menjawab pertanyaan paling sederhana: barang itu ada dan dipakai, atau tidak? Jika ada dan dipakai, maka pertanyaan berikutnya bukan "siapa mencuri?", melainkan "berapa biaya wajar untuk membuatnya sampai, aman, dan berfungsi?"
Argumen yang menuduh: spesifikasi dianggap "dikunci" sehingga kompetisi menyempit. Selisih harga dengan angka pabrik diperlakukan sebagai kerugian. Ada narasi uji coba yang disebut tak mulus namun proyek tetap berjalan.
Argumen yang membela: metode audit harus menghitung biaya pendukung riil (logistik, SLA, lisensi manajemen, sparepart, kepatuhan, TKDN, margin) dalam format neto (pra-PPN)---bukan membandingkan "apel vs jeruk" antara perangkat ritel dan kontrak pemerintah. Manfaat nyata (penyaluran luas, dipakai guru-siswa) menunjukkan ini bukan proyek fiktif. Niat jahat tak bisa diambil dari kompetensi pejabat atau korespondensi dengan vendor saja; harus ada bukti aliran dana atau keuntungan melawan hukum yang spesifik. Kebijakan TKDN memang menambah biaya di depan sebagai investasi industri---premi kebijakan tidak otomatis sama dengan mark-up ilegal.
Kita berutang pada keadilan untuk menimbang dua sisi dengan alat ukur yang benar. Di hukum, ukurannya kerugian nyata & terukur, bukan potensi atau persepsi. Di pengadaan, ukurannya biaya total kepemilikan (TCO), bukan harga etalase.
Banyak negara membeli perangkat untuk sekolah dan selalu "terlihat mahal" bila dibanding harga ritel. Perbedaannya, di tempat lain publik sudah akrab dengan TCO: lisensi manajemen perangkat massal, dukungan teknis, dan jaringan servis nasional dihitung sebagai bagian dari harga wajar. Indonesia sedang belajar hal yang sama---hanya saja pelajaran ini kerap tenggelam oleh tajuk "triliunan" dan foto rompi merah.
Psikologi kognitif: anchoring effect membuat angka besar menempel di kepala; negativity bias membuat kabar buruk lebih keras suaranya. Ekonomi publik: TKDN menaikkan biaya awal, tetapi menyalurkan nilai balik---pekerjaan, pajak, kapasitas lokal, resiliensi pasok. Teknologi: perangkat pendidikan skala jutaan unit butuh manajemen terpusat---lisensi dan konsol bukan "aksesori", melainkan jantung operasional. Hukum: pidana korupsi mensyaratkan kerugian negara yang nyata dan perbuatan melawan hukum yang memperkaya pihak tertentu. Kebijakan yang kontroversial belum tentu kriminal.
Panduan ringkas untuk pembaca kritis: tanyakan ini dulu---apakah angka kerugian yang disebut itu hasil audit final, atau masih klaim penyidik? Bedakan harga: ritel vs kontrak pemerintah. Ada atau tidak komponen layanan & TKDN di perbandingan? Cari manfaat publik: barangnya ada dan dipakai? Sejauh mana? Cari motif & bukti: ada aliran dana ke individu/korporasi tertentu? Atau hanya asumsi dari kedekatan kebijakan dan vendor? Ingat PPN: pajak bukan kerugian; itu kembali ke kas negara.
Bayangkan harga pabrik Rp3 juta. Agar laptop benar-benar siap dipakai di sekolah, wajar ada biaya sekitar Rp1,98 juta per unit: garansi & SLA beberapa tahun, lisensi manajemen, distribusi nasional, sparepart, kepatuhan/TKDN, margin wajar. Itu bukan uang lenyap---itu ongkos kerja agar perangkat sampai di meja murid dan tetap menyala di tahun ketiga. Dikalikan volume besar, selisihnya jadi triliunan. Besar di mata, tetapi logis di neraca.
Opini publik mudah digiring oleh judul besar dan gambar dramatis. Namun demokrasi yang sehat memerlukan publik yang berani adil terhadap angka: menolak sensasi, meminta metode. Jika ada bukti biaya fiktif, double counting, atau aliran dana gelap---hukum harus tegas. Tetapi jika "selisih" adalah biaya wajar yang kita pahami bersama, maka keadilan menuntut kita menyebutnya dengan nama yang benar: biaya kebijakan, bukan kerugian negara.