Apa itu "Santri Katolik"?
Mungkin terdengar aneh, bahkan bertolak belakang! Sebutan yang penuh paradoks ini merujuk pada seorang remaja yang sejak kecil dibaptis, merasakan dinginnya air suci menyentuh dahinya, sebuah kenangan indah yang mengukir jejak dalam hatinya. Setiap minggu, ia setia menapaki perjalanan iman di rumah Tuhan, menuntut ilmu di sekolah Jesuit, akrab dengan doa rosario, dan nyanyian Ave Maria kerap terngiang dalam benaknya setiap bulan Desember. Di setiap langkah hidupnya, ia dengan sadar memeluk identitasnya sebagai insan Katolik, pribadi yang berdiri teguh dengan keyakinan penuh kepada Yesus Kristus atau Nabi Isa Almasih.
Sang santri menyadari bahwa dirinya adalah minoritas di tengah kerumunan, dengan penampilan dan ritual yang berbeda. Namun, ia melihat keberadaannya sebagai sebuah panggilan untuk menapaki jalan yang jarang dilalui, sebuah perjalanan yang penuh keberanian untuk belajar dan menghargai perbedaan. Kini, ia menjalani hidup sebagai santri, menggali makna sejati dari harmoni tanpa melepaskan akar kepercayaannya yang kokoh. Sebagai seorang insan Katolik, ia melangkah penuh rasa ingin tahu, meresapi denyut kehidupan pesantren dalam dua tiga malam yang sarat dengan pelajaran dan perenungan.
Awal Mulanya
“Manusia itu seperti satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakan sakitnya,” demikian kutipan dari Nabi Muhammad yang menyambutnya saat pertama kali melangkah ke pondok pesantren. Pak Ustaz menggunakan ungkapan ini sebagai pengingat bagi para santri untuk peduli terhadap sesama, tanpa memandang perbedaan. Ungkapan ini menggetarkan hati sang santri Katolik, mengingatkannya pada kata-kata bijak Gus Dur, "Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk karena begitulah Allah." Kedua pesan ini bergema dalam dirinya, mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk saling menjauh, melainkan panggilan untuk saling menghargai dan mengasihi.
Namun, kini ia menghadapi tantangan yang jauh lebih nyata. Bagaimana ia harus menjalani hidup di tengah-tengah dunia yang keyakinannya begitu asing, di tempat yang sering kali terasa seperti tanah yang belum dikenalnya? Sebuah dunia yang penuh dengan adat, kebiasaan, dan ritual yang seolah jauh dari apa yang ia kenal sebagai rumah iman. Setiap sudutnya terasa asing, setiap langkah terasa lebih berat, dan setiap suara mengingatkannya pada betapa berbeda dirinya dari insan yang ada di sekitarnya. Kehidupan yang penuh dengan perbedaan ini menggelisahkan hatinya. Bagaimana jika ia tak diterima? Bagaimana jika keberadaannya dipandang sebagai sesuatu yang tak diinginkan atau bahkan dicurigai? Di tengah keragaman itu, ia mulai bertanya-tanya, adakah ruang bagi dirinya untuk tetap teguh pada iman, meskipun segala yang ada di sekelilingnya seolah mengajak untuk menyerah pada perbedaan yang tak terjembatani?
Tantangan Hidup sebagai Santri di Pesantren
Menjadi santri di pesantren adalah sebuah perjalanan yang penuh tantangan, apalagi bagi seorang remaja yang punya keyakinan berbeda. Kehidupan yang tertata rapi dan penuh aturan ini menawarkan sesuatu yang jauh dari kebiasaan yang dikenalnya. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, suara adzan yang merdu memanggil para santri untuk sholat. Bagi dirinya, suara itu adalah pengingat bahwa ia adalah minoritas di tempat ini, tempat di mana kebiasaan dan ritual agama berbeda dari yang ia anut. Meski tak ikut sholat, ia tetap terbangun di waktu yang sama, mengikuti rutinitas yang sama. Di ruang makan, ia berbagi meja dengan santri lain, menyantap makanan bersama tanpa ada pembatas antara mereka, meski ada perbedaan dalam ritual doa sebelum makan. Ia menyapu, membersihkan kamar, bahkan membantu memanggang roti. Semuanya adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani tanpa mengabaikan siapa dirinya. Setiap hari, tantangan itu menguji keteguhannya, menuntutnya untuk menjalani hidup dengan lapang dada, menghormati perbedaan, dan tetap setia pada dirinya sendiri. Dengan langkah yang penuh keraguan, ia menapaki hidup sebagai santri yang membawa banyak pertanyaan tentang bagaimana dirinya akan diterima di tengah keberagaman yang sangat menyolok.
Keberanian Menghadapi Perbedaan
Namun, seiring waktu, keraguan itu mulai terurai. Ia menyadari bahwa pesantren bukan hanya tempat untuk menjalani rutinitas keagamaan, tetapi juga tempat untuk belajar tentang arti kebersamaan dan saling menghargai. Ia menyaksikan bagaimana disiplin dan keteguhan dalam menjalankan setiap kewajiban di pesantren bukanlah sekadar tindakan mekanis, tetapi cara hidup yang mengajarkan pentingnya kerjasama dan rasa saling memiliki. Walaupun ia tidak melaksanakan sholat lima waktu, ia merasakan keindahan dalam kedisiplinan yang diterapkan para santri. Perlahan, keraguan yang dulu menghantuinya mulai pudar. Ia belajar bahwa perbedaan bukanlah jurang pemisah, melainkan peluang untuk tumbuh lebih bijaksana. Di tengah ketatnya aturan, ia menemukan ruang untuk beradaptasi, berinteraksi, dan menerima kenyataan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Keberanian yang dulu terpaksa ia bawa sebagai perlindungan kini berubah menjadi semangat untuk memahami dan merayakan perbedaan. Hari demi hari, ia semakin percaya bahwa meski keyakinan mereka berbeda, ikatan kemanusiaan yang mereka miliki jauh lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Mengikis Prasangka dan Merayakan Perbedaan
Keberagaman sering kali dianggap sebagai pemicu perpecahan, padahal sesungguhnya ia adalah sumber kekuatan yang tak ternilai. Perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan, melainkan sebuah kesempatan untuk saling mengisi, untuk membuka pikiran dan hati terhadap dunia yang lebih luas. Keberagaman mengajarkan kita untuk belajar dari perspektif orang lain, untuk memperkaya wawasan kita dengan pengalaman yang tidak kita miliki. Justru dalam perbedaan, kita menemukan ruang untuk tumbuh, untuk menjadi lebih bijaksana, lebih toleran, dan lebih manusiawi. Keberagaman adalah jembatan yang mempertemukan individu-individu dengan latar belakang berbeda, yang dengan saling menghargai akan membentuk suatu ikatan yang lebih kuat dan lebih mendalam. Dalam suasana yang penuh perbedaan ini, sang santri Katolik menyadari bahwa keberagaman adalah kekuatan yang menumbuhkan solidaritas dan persahabatan, bukan ancaman yang harus dihindari.
Di tengah berbagai ketegangan dan ketakutan yang muncul akibat radikalisme dan fanatisme, sang santri Katolik merasa bahwa kehadirannya di pesantren adalah bentuk perlawanan terhadap prasangka. Dalam dunia yang terkadang dipenuhi ketakutan terhadap yang berbeda, ia menunjukkan bahwa seseorang yang berbeda keyakinan tak harus dipandang sebagai ancaman. Ia melihat dengan jelas bahwa pengertian dan penghargaan terhadap perbedaan bisa mengikis segala bentuk ketegangan. Di pesantren itu, meski dengan keyakinannya yang berbeda, ia merasa diterima, dan bahkan lebih jauh lagi, ia menemukan bahwa kehadiran seseorang yang berbeda justru dapat memperkaya kehidupan bersama. Ketika seorang remaja Katolik dapat menjalin hubungan tanpa ketegangan dengan teman-teman santri yang mayoritas beragama Islam, ini memberi secercah harapan bagi dunia yang sering kali diliputi konflik. Keberanian untuk merayakan perbedaan dan membuka hati untuk belajar dari satu sama lain adalah langkah kecil namun penuh makna dalam mewujudkan dunia yang lebih damai.
Persahabatan yang Menyatukan
Kehidupan di pesantren tidak hanya mengajarkan disiplin dan ritual agama, tetapi juga tentang kemanusiaan dan persahabatan yang tulus. Dalam kebersamaan yang didasari saling menghormati, sang santri Katolik menemukan bahwa meskipun keyakinan mereka berbeda, nilai-nilai kemanusiaan yang sama mengikat mereka. Para santri yang awalnya mungkin merasa heran mulai memahami perjalanan hidupnya, dan dalam suasana yang penuh saling pengertian, mereka berbagi lebih dari sekadar cerita dan makanan. Mereka juga berbagi ilmu dan perspektif dengan mengajaknya untuk mengenal lebih dalam tentang sisi spiritual Islam dan sebagai balasan, ia menceritakan makna kasih dan cinta kasih dalam iman Katolik yang ia anut. Dari sini terbitlah benih-benih jalinan persahabatan. Meskipun agama mereka berbeda, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan kebaikan yang mereka anut tetaplah sama. Ini adalah kisah tentang bagaimana perbedaan agama dapat mengarah pada persahabatan yang lebih kuat, lebih tulus, dan lebih menguatkan, menyadarkan kita bahwa meskipun dunia seringkali memisahkan, kemanusiaan selalu dapat menyatukan.