Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2|Burning Bening|

8 Mei 2013   06:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:55 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13679710041294909089

[image: 1xdotcom_stefano tommasi]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o|

Dari air, kita belajar ketenangan. Dari batu, kita belajar ketegaran. Dari lebah, kita belajar banyak manfaat bagi sesama. Dari kupu-kupu, kita belajar mengubah diri menjadi lebih baik, lebih bermanfaat. Dari padi, kita belajar kerendahan hati. Dari Tuhan, kita belajar tentang… kasih sayang yang sempurna…

Sepuluh tahun berlalu. Waktu bergulir cepat tanpa terasa. Padahal sepertinya baru kemarin bebek-bebek lempung, jerapah lempung, bebunga lempung dan rumah-rumah lempung berjejer meriah di atas pematang.

|o0o|

Pletak!

“Sabeni! Ini kue apa batu?“ Eddu melempar sepotong kue yang nyaris merontokkan gigi taringnya.

“Ah, masa sih?“ Bening mencoba menggigitnya. ”Auu, kok jadi sekeras ini ya? Haha!“ tawanya berderai-derai.

“Ha-ha masih ketawa juga! Tampang seperti kamu itu ngga bisa deh berurusan dengan dapur. Mending nyangkul aja, gih!“ ledek Eddu senang. Tangannya gemas mengacau barisan anak-anak rambut yang menjuntai di dahi Bening.

“Apa, nyangkul!? Nih, cangkul! Haiyaa!“ Bening melompat. Dalam sekali tangannya berhasil mengunci leher Eddu. Baru dia kendurkan kunci mati itu ketika terdengar suara tongkat diketukkan atas pintu dapur.

“Bening!“ hardik nenek.

“Uhuks-uhuks!” Edu sengaja meninggikan volume batuknya. Dengan wajah penuh derita diusap-usapnya leher seolah jeratnya masih tertinggal di sana. “Oh, untunglah nenek cepat datang, kalau tidak aku pasti sudah dipanggangnya pula!“ tambah Edu semakin mengipasi tungku di hati Bening. Ia melirik senang melihat Bening balas mendelik garang.

Ini bukan kali pertama Bening gagal memasak. Kue, tumisan, rendang, hampir semua jenis masakan selalu berakhir gatot pada setiap eksperimennya. Tapi Bening tidak mudah menyerah meski sadar dapur bukanlah laboratorium yang tepat baginya. Bening memang lebih piawai membedah isi perut katak sawah dan bermain-main dengan cacing-cacing sebesar telunjuknya itu. Di sekolahnya, sepasang remaja itu kerap diolok sesama temannya sebagai pasangan Marie dan Pierre Curie.

“Marie and Pierre Curie? Ngga papa. Aku Pierre, Dudul pantesnya jadi Marie!” kata Bening setiap kali membahas olok-olok itu. “Mana pernah Eddu berani menancapkan mata pisau ke perut pangeran amphibi. Dia selalu ngeper duluan. Harus aku yang jadi volunteer barulah terbit keberaniannya mengorek isi perut pangeran kodok!” alasan Bening mengapa Eddu menurutnya lebih pantas sebagai Marie.

“Terserah kau sajalah,” Edu gondok. “Awas kau, jangan ngambek kalau kamu kalah balapan!“

Dan wussh! Adu balap sepeda kumbang itupun selalu terjadi. Keduanya berpacu membelah selubung halimun pagi dengan pekik dan canda yang membangunkan matahari. Balapan akan berlanjut sepulang sekolah. Tour de Pematang itu akan melaju di atas pembatas berhektar-hektar ladang dan sungai kecil di bawahnya serta lintasan gerbong kereta pengangkut bebatang tebu. Di sore hari dengan kanopi horison jingga kemerahan yang bergairah menyambut petang.

Kedekatan itu memang indah. Apalagi kedekatan yang abai pada gejolak kemudaan. Tak pernah menyoal perasaan di hati masing-masing. Bening dan Eddu pun tak hirau pada keyakinan yang berbeda. Keduanya sudah terlalu nyaman berdampingan. Dekat tanpa sekat.

Untuk seorang Bening, Eddu adalah teman, sahabat, kakak, terkadang adik mengingat sisi lembut Eddu sebagai seorang lelaki di atas standar yang seharusnya lebih dimiliki Bening sebagai perempuan. Eddu juga adalah pagi, siang dan sore, terkadang malam bila taruna itu tahu-tahu nongol membawa setumpuk buku dan tugas sekolahnya.

“Ngga seru ah, kalau belajar sendirian,” alasan Eddu.

Eddu adalah paket sempurna bagi Bening mengisi keseharian dan melengkapi cerita masa remajanya yang indah luar biasa. Hingga suatu hari keindahan itu lenyap.

“Lihat, Ning!“ Eddu menyodorkan selembar foto. Senyum malu-malu tak lepas dari bibirnya. Bahunya terus berkedik-kedik senang. Jelas tergambar keriangan dan riak wajah tak sabar menanti komentar.

Tangan Bening bergetar menyambut gambar Polaroid itu. Cepat diletakkannya siku kedua tangan di atas meja bundar bertangkai yang menopang payung besar, agar getaran itu tak sampai menjatuhkan foto yang tengah dipegangnya. Namun atas nama kedekatan, Bening berusaha menutupi rapat tsunami yang mendadak menggulung suka hatinya.

“Oh, yak amplop! Edudul, ini mah gua tahu lagi! Anak IPS kan? Namanya, mmh…“ Bening ragu sejenak. Haruskah selekas itu memberitahumu Ed, demi mudahkan jalan cintamu? Batin Bening menimbang.

“Siapa, Ning?” tak sabar Eddu bertanya. “Siapa namanya? Iya betul, dia anak kelas 3-F IPS! Cepetan dong, kasih tahu!“ Eddu menggoyang-goyang punggung tangan Bening. Tak pernah tahu, itu menambah heboh guncangan di hati Bening.

“Sendal-selen! Hehe, ngebet bener sih lo?!“ Bening terkekeh meski tawa itu di telinganya terdengar hambar dan sengau.

Hati Bening kacau. Menyadari masa kedekatan itu akhirnya tibalah. Masa melepas seorang Eddu memilih kemana hatinya hendak bertaut. Sepuluh tahun telah dikuasainya seorang Eddu untuk dirinya seorang saja. Berawal dari lempung-lempung replika kebun binatang yang kini masih disimpannya di bibir jendela kamar. Setiap hari selapis lempung Bening tambahkan menutupi lapisan yang kering dan mengelupas agar tak hilang kenangan itu.

Ya, masanya menserakahi Eddu yang memberinya kenyamanan itu, disadari Bening akan segera berakhir. Yang dia tak erti, mengapa harus kini di saat metamorfosisnya telah demikian berkembang dan mampu memahami perbedaan rasa. Cinta? Benarkah ini cinta? Bening resah.

“Anak-anak memanggilnya Gladys, Dul. Lengkapnya, Ioninna Gladys Supit. Jong Celebes juga kayak moyang lo! Hehe,“ nyatanya Bening masih sanggup terkekeh.

Foto itu tak lama dipegangnya. Dikembalikan kepada si pemilik yang tergesa meraihnya kembali. Entah takut diterbangkan angin. Ataukah rasa kesengsem yang dirasa kian berat. Bening menyeruput jus jeruk di gelasnya yang tinggi semampai. Pandang matanya lamur, menatap jauh menembus atap gazebo, tempatnya biasa rehat dalam perjalanan pulang dari sekolah bersama Eddu.

“Nama yang cantik, sesuai benar dengan orangnya. Ya ngga, Ning?“ Eddu kian antusias pada sosok ‘dewi’ yang terperangkap di kertas berwarna itu.

“Ingat Ed, bentar lagi ujian loh. Katanya mau masuk universitas top?” ujar Bening malas.

Ioninna Gladys Supit. Hmm, cantiknya dinda punya nama, secantik dinda yang menyandang nama,“ Eddu bergumam. Matanya tertutup. Punggungnya bersandar nyaman di kursi plastik putih. Tangannya mendekap kertas berharga di dadanya yang tengah gedebak-gedebuk seperti bunyi tambur besar yang dia pukul saat beraksi sebagai anggota marching band Gita Taruna di sekolahnya.

Bening geleng-geleng kepala. Senyum tipis tersungging di bibir manis. Tapi mengapa hatinya terasa perih mengiris?

“Aku harus bikin surat! Harus! Bantu aku membuatnya ya, Ning? Kumohon, please, please,“ tiba-tiba Edu bangun dari kondisi fly-nya itu.

“Sendal-selen! Yang bener aja! Bikin surat cinta itu harus dari hati bukan hasil dari kolaborasi! Pikir dong, perasaan Gladys kalau sampai tahu surat cinta yang diperolehnya itu bukan murni dari otak dan hati lo sendiri, Dul!“ Bening jengkel. Merasa tak dapat mentolerir lagi perih dalam dadanya, iapun segera bangkit dan mencangklong tasnya dengan kasar.

Gadis itu terus berlalu. Tak peduli ‘ning-ning-ning’ teriakan manja yang terus memanggilnya. Ataupun bel sepeda yang krang-kring memekakkan gendang telinga. Baru ketika suara mak gedubrak! terdengar di belakangnya, Bening menoleh.

Eddu meringis. Sebagian tubuhnya tertimpa sepeda. Bahan katun yang menutup lututnya robek menganga. Dari sana kran darah menetes deras.

Di dalam becak yang dikayuh kencang, Bening tak henti menyumpahi kepala yang bersandar di bahunya. Sedang pemiliknya sibuk beraduh-aduh sambil memegangi lutut robek dan betis yang biru-ungu lebam.

“Sendal-selen! Kayak baru belajar ngegowes sepeda aja! Liat apaan sih sampai nabrak-nabrak?! Belum puas apa melototin foto Gladys? Seperti ngga ada waktu lagi, nyepeda kok sambil nerawang foto perawan!“ Bening mengomel sepanjang perjalanan mereka ke rumah sakit terdekat.

“Ning, tar malem aku ke rumahmu yak? Bantu aku mencari kata-kata yang pas, indah tapi ngga norak, manis tapi ngga kampungan. Dan kamu! Tutup mulutmu atau matilah kamu, kalau sampai Gladys tahu kita berdua yang mengarang surat untuknya!” ancam Eddu disertai erang kesakitannya yang hiperbolis.

|bersambung|

Gagal total

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun