Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

27|Bubble Bening|

28 November 2013   11:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385610635825252099

[image: appunti]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-|

Bora-Bora Nusantara adalah julukan yang diberikan Bening untuk Kepulauan Sayutanira, tempatnya menetap sekarang, setahun berselang paska keputusannya mengundurkan diri dari Colo-Indo Ceramics Co. Tak salah julukan itu sebab gugusan pulaunya memang sangat bernuansa Bora-Bora di Kepulauan Karibia. Tiap jengkal tanahnya dikuasai oleh satu-satunya yang bermarga Cocos dari sekian anggota keluarga Arecaceae, nira! Itulah barangkali mengapa disebut Sayutanira yang bermakna sejuta nira.

“Ckckck, sulit dipercaya inilah tanah kelahiran Nenek,” Bening tak henti berdecak kagum, sedang tangannya sibuk mengarahkan kamera, bolak-balik memutar lensanya untuk mencapai ketajaman fokus tertentu ke setiap obyek yang menjadi tambatan hatinya.

“Kadang Nenek merasa egois dan bersalah berkeinginan menghabiskan masa tua di Sayutanira. Kamu ndak nyesel tho, Ning, meninggalkan semua cinta, cita dan apa yang telah kau capai dengan susah payah sepanjang hidupmu di ibukota?”

“Aduh, Nenek, tak ada penyesalan sama sekali. Aku bahagia di sini, Nek. Apalagi dengan kesehatan Nenek yang semakin membaik. Dan di atas semua itu, Neneklah yang paling kucintai di dunia ini, hihihi,” senyum Bening lebar tanpa keraguan. “Selain itu, dimana lagi dapat kutemukan surga bila semuanya kini terhampar di depan mata?”

Bening benar. Boleh jadi Sayutanira hanyalah noktah kecil dalam peta Nusantara, lumayan terpencil dengan kondisi yang jauh dari sentuhan infrastruktur memadai laiknya di Ibukota. Namun Bening tak melihat alasan apapun baginya untuk menolak Sayutanira, pulau dengan lansekap yang tiap sudutnya hanya menawarkan keindahan secara cuma-cuma. Ia bahkan telah membulatkan tekadnya untuk tinggal selama-lamanya di pulau indah ini.

Kehidupan di Sayutanira berjalan tenang. Waktu seolah bergulir selambat kura-kura mengukur jalan. Tak ada ketergesaan, target yang harus dicapai, atau rapat-rapat yang kerap menarik urat. Satu-satunya keributan penanda intervensi modernisasi hanyalah raungan bahtera bermotor. Perahu memang telah menjadi moda transportasi utama di Sayutanira ini, opsi terbaik bagi warga lokal karena lautan bersedia memberikan harga murah dibandingkan rute daratan terjal penuh lubang yang nyata merampok waktu dan dana. Sungguh, kehidupan hanya perlu berjalan dengan mengikuti alur lambaian nyiur yang berbaris rapi menjaga garis tepi pantai.

Pantai? Ah, lihatlah betapa indah bibir pantai yang berpasir putih, lahan abadi bagi ibu-ibu penyu menitipkan telur berharganya, juga tempat singgah yang menjanjikan bagi aneka jenis kerang-kerang, kepiting, remis serta penghuni bahari lainnya.

Tiap pulaunya dikelilingi laut kecil dengan riak jernih yang nampak biru kehijauan dari kejauhan. Langit Sayutanira berkanopi biru, bukan kelabu yang membunuh paru-paru. Udaranya selalu tersaji bersih, segar dan nyata menyehatkan. Cakrawala tegar melayani para penjelajah lautan. Lihatlah sekuadron burung yang tak henti hilir-mudik menangguk untung dari kekayaan lautan. Hanya butuh bugar dan nyali untuk menyeberangi horison luas tak bertepi. Adakah yang bersedia menampik surga ini?

Pondok yang ditinggali Bening bersama Neneknya adalah rumah panggung sederhana namun bertekhnologi kekinian. Tinggal di daerah terpencil, tak harus terisolasi dan kehilangan gema dunia luar. Walau masih berahasia mengenai tempat tinggalnya sekarang, Bening tetap mengaktifkan emailnya demi menjaga tali persaudaraannya dengan Eddu, Gaby, Marco dan sesekali dokter Rini. Ya, hanya mereka, tidak termasuk Sakha. Entah apa yang membuat pria itu berhenti berkirim surel. Meski terasa getir, namun Bening berusaha memaklumi sebab kehampaan ini.

Kerja keras Bening setahun belakangan ini telah membuahkan lima pondok semi permanen untuk bisnis home stay-nya yang kini tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan lokal maupun manca. Lima hunian unik yang lantas menjadi aktifitas utamanya disamping mengelola hutan pribadi, sebuah lahan kecil bagi beragam jenis bunga, tanaman obat, dan sayuran. Setelah itu Bening akan memuaskan hobinya menelusur tiap celah di Sayutanira demi berburu obyek menarik bagi dahaga yang tak pernah habis dari lensa kameranya. Lain wakut, bila kerajaan lautannya tak nampak bergejolak, Bening akan terlihat betah berlama-lama merendam kaki, sesekali berusaha menangkap ikan-ikan kecil, bayi-bayi udang dan remis-remis yang tak berkaki namun gesit berlari. Ia tak pernah bosan, walau upayanya meraup mahluk-mahluk imut itu selalu membuatnya pulang dengan tangan hampa. Gadis Bening sungguh tak peduli kulitnya busam atau menjelaga. Dengan sederet aktifitas menyenangkan seperti itu, dapat dimengerti bila ia sangat rela menukar posisi secemerlang apapun dan di perusahaan manapun!

Tak hanya alamnya yang sempurna, Sayutanira bahkan telah menghadiahi Bening keahlian mendayung yang takkan memalukan disejajarkan dengan para atlet dayung nasional. Masih dirasa belum cukup sibuk, Bening mengkhususkan satu pondoknya sebagai public house yang akan menjadi rumah baca gratis bagi anak-anak nelayan di akhir pekan, lalu di hari tertentu para ibu anak-anak itu akan memakainya sebagai rumah tausiah, bergantian dengan kelompok pengajian para sepuh yang diikuti Nenek Salima.

Dan bila semua aktifitas itu sudah mendorong Bening hingga batasannya, ia punya stipo yang berdaya ampuh mnghapus segala kelelahan. Ada paviliun kecil di beranda depan yang tiap saat menampilkan indahnya lukisan alam kelautan. Ya, disanalah Bening akan berleha-leha sambil memeluk radionya. Sungguh, semua itu sudah cukup memberinya serum baru untuk semangat menggebu menyongsong esok hari yang lebih bergairah.

“Cukup tidur itu bagus untuk kesehatan dan kecantikan loh, Ning,” tegur Salima mengingatkan Bening akan hobinya menuntaskan siaran radio.

“Hihihi, Nenek tahu juga kalau Bening suka tidur malam-malam dengerin radio. Bening senang suara penyiarnya yang senarai dengan buluh perindu itu, Nek,” papar Bening jujur.

Memang selalu ada rasa tentram yang aneh tiap kali menyimak suara empuk Sang Kelana, si penyiar idola. Bahkan secara menakutkan, rasa tentram itu lambat-laun telah menjadi semacam ketergantungan. Mungkin ini sekedar keterikatan semu belaka, namun Bening kerap tak sampai hati melewati satu malam saja tanpa menyapa Kelana walau untuk itu ia harus mengorbankan tenggoroknya diracuni kafein pahit demi mata dan kesadarannya tetap terjaga hingga waktu berpisah tiba. Apalagi Kelana, penyiar itu, tak pernah sekalipun mementahkan request lagu-lagunya, bahkan ketika Bening tak memintanya pun!

Lagipula, sayang tidak sih? Melewatkan malam nan cerah, dimana simfoni alam kan terlantun sempurna, desir angin semilir bercengkerama dengan debur ombak di kejauhan, menggelandang kemanapun hati ingin pergi. Gelap merangkak syahdu seiring rembulan yang perlahan memanjat langit, lalu membran telinga kan dimanjakan alunan tembang-tembang pelipur lara yang disampaikan sejawat bersuara malaikat… Sayang bukan?

“Lima menit jelang tengah malam, Karib Sayutanira. Sebelum undur diri, masih ada satu tembang penuntas sesi Kidung Malam ini, Nyanyian Kasmaran. Dan hmm… selamat malam untuk seseorang yang nampaknya tengah menanggung kasmaran setiap malamnya, Bening, dimanapun kamu berada saat ini. Okey, terima kasih untuk Karib Sayutanira, Sahabat Kidung Malam atas segala atensi. Selamat malam, selamat beristirahat, sampai jumpa di sesi berikutnya…”

Bening khusyu memejamkan matanya. Tak dihalaunya sebulir airmata yang meluruh, entah karena kejernihan vocal Sang Kelana, suara penyanyinya atau lyric lagu yang secara gamblang menggambarkan perasaannya…

[…]

Nenek sudah menunggu, saat Bening melepas caping bertali yang tertambat di dagu, topi beranyam bambu andalan untuk aktifitasnya di luar. Senyum Nenek yang ekstra cerah jelas mengatakan ada berita bagus untuknya.

“Oke, Nenek, kali ini siapa? Pemuda mana lagikah ia? Seganteng apakah ia? Sesholeh nabikah ia?” tanya Bening tak bertedeng aling-aling, menohok langsung pada inti percakapan.

Ya, terlalu sering Nenek menjodohkan dirinya, hingga Bening memutuskan untuk mengalir bersama ‘kepedulian’ nenek yang terkadang dianggapnya cukup mengganggu itu. Kali ini entah putra siapa atau cucu dari kenalan yang mana karena sebagai penduduk asli, Nenek memang diberkati dengan lingkaran kekerabatan serumit labirin liang kepiting.

”Kali ini Nenek yakin kau akan suka. Dia pemuda yang santun, sholeh, dari keluarga terhormat, dan punya pekerjaan tetap. Nenek yakin dia bisa menjadi imam keluarga yang baik. Namanya, hm, sek, sek…, sediluk, endi tho mau catetane yo?”  Nenek Salima geragapan merogoh saku kecil di balik kebayanya, selembar kertas perlahan dibuka tiap lipatannya karena terlalu banyak menampung catatan profil para pemuda yang akan selalu siap ia promosikan kepada cucu tunggalnya itu. Rachman, Iman, Ahmad, Rifai, Ikhsan, Raffi, Salahudin, dan entah siapa lagi kali ini.

“Mbok dilihat dulu fotonya, Ning. Eh, apa ini semua karena Nak Sakha, hingga kau terkesan tak ingin dekat dengan pria manapun?” tanya Nenek ketika tak satupun kandidat yang diusungnya itu tak berhasil jua mengikat hati Bening.

“Iih… Nenek!” Bening mengorek-korek telinganya yang tidak gatal apalagi kemasukan semut nakal. “Jangan sampai Bening mendengar nama itu disebut dua kali ya?!” rengutnya manja. “Bening janji deh, ini penolakan yang terakhir. Setelahnya siapapun pilihan Nenek akan diterima dengan hati lapang. Siapapun! Cinta dan kasih sayangnya tak harus sedalam Eddu. Performanya tak harus sekaliber Marco. Tapi dengan satu syarat yang tak dapat ditawar-tawar!” Bening mesam-mesem, menyembunyikan kartu truf dibalik senyumnya yang dikulum. “Pria itu harus tahu aku adalah satu paket dengan Nenek, jadi dia tak boleh membawaku pergi dari sisi Nenek tanpa alasan apapun. Bagaimana, syarat yang mudah bukan, Nek?”

Salima tak dapat menyembunyikan airmata keharuan atas syarat Bening yang didengarnya barusan.

“Auuh, Nenekku sayaaang,” Bening membalas pelukan Salima erat dan dengan segala cinta yang tak bersyarat. “Sudah ah, Bening rindu sama Eddu. Nenek juga ingin tahu kabarnya bukan?” ujarnya seraya berlalu.

Tak, tik, keyboard diketik, namun hingga matahari meninggalkan Dhuha, tak satupun surel dapat dipetik. Hm, Bening melenguh kecewa. Kini sudah tak ada lagi ‘dessert’ segempita masanya berjaya sebagai seorang sekretaris. Inbox itu tak lagi dipenuhi surel berbagai company dari berbagai country seperti biasa yang dahulu selalu didapati. Inboxnya kini terus dirundung sepi. Sejak menetap di Sayutanira, hanya tiga nama saja yang rajin muncul, siapa lagi kalau bukan Eddu, Marco dan Gaby, sesekali dokter Rini. Hanya mereka sajalah yang setia meng-update perkembangan berita seputar Ibukota. Sia-sia berharap nama Sakha akan muncul, blup! mengejutkan plus menyenangkan seperti pernah terjadi. Surel terakhir Marco bahkan cukup menyedihkan. Terbanyak dari isinya adalah attachment berupa foto-foto kesuksesan acara launching pabrik keduanya sekaligus menjadi penanda akhir bagi kerjasamanya dengan Sakha. Yaa, pupuslah sudah…

Tak ingin berlama-lama dalam nostalgia, Bening kembali meraih capingnya. Lalu perlahan dan sepenuh perasaan, gagang dayungnya dikayuh menyusuri lorong panjang berapit rumah-rumah panggung, yang selintas mirip dengan Venesia, kota terapung yang pernah dikunjunginya bersama Marco di masa silam. Bedanya pengapit Venesia adalah gedung-gedung indah dari abad pertengahan, sedang lorong yang tengah dilaluinya hanyalah pasar mengapung yang menjual segala macam kebutuhan pokok.

“Hm, penasaran nih. Ketemu lagi ngga ya?” tanya Bening pada dirinya sendiri. Tangannya berhenti mendayung. Jukung itu dibiarkan melenggang bersama arus. Lehernya sibuk menelikung. Pandang mata Bening menyapu tiap lapak, mencari seseorang yang kemarin secara tak sengaja dilihatnya.

“Yang jelas bukan dia. Ngga mungkin banget deh!” Bening berusaha meyakinkan dirinya. Sebab memang mustahil bagi seorang Sakha tersesat di sini. Jangankan Sakha, bahkan Marco dan Eddupun belum tahu lokasi pulau tempat tinggalnya kini. Kecuali Badrun telah membocorkan alamatnya?

Drruuaakkss!

Lamunan Bening pecah. Tangannya reflek mencengkeram tepian sampan kiri dan kanan, menjaga keseimbangan. Dayungnya lekas dikayuh lagi agar ujung sampannya benar arah dan tak membentur apapun. Ugh, bisa-bisa diteriaki orang sepasar, kalau itu sampai terjadi. Setelah berhasil menguasai keadaan, Bening tengak-tengok mencari tahu perahu siapakah yang telah ditabraknya barusan.

“Hei! Hati-hati dong, Bu!” asal teriakan itu dari sampan merah jingga. Pemiliknya nampak tengah berusaha keras mengendalikan ketidakstabilan bahtera kayunya.

“Ma-maafkan saya, Bang,” sesal Bening, capingnya cepat diangkat tinggi-tinggi. Senyum termanis segera dipamerkan, berharap itu dapat meredam kemarahan si Tuan pemilik sampan bercat merah-jingga.

Sampan itu melaju pelan ke arahnya. “Melamun di tengah pasar! Bagaimana kalau perahuku tenggelam? Nih, ini pasti punyamu,” kata si Tuan Sampan sambil menyodorkan bubu dengan ujung dayungnya.

Bening seketika ber-Oh. Namun mulutnya tak lekas menutup, padahal kata ‘oh’ dan terima kasih sudah lama berlalu sejak menerima bubunya yang mungkin telah terpelanting dan berpindah tempat akibat tabrakan kecil tadi. Bening tertegun, menatap tak percaya pada si Tuan Sampan. Demikian pula sebaliknya. Mata keduanya saling bicara. Waktu seolah terhenti sepersekian detik, sebab tak lama kemudian beberapa pengayuh sampan lain mulai menjerit-jerit menuntut jalan, sebagian melengking-lengking menawarkan setandan pisang, yang lain berteriak-teriak mengunggulkan dagangannya, sayuran, ikan, dan entah apa lagi.

Sa-sa-Sakha? Ya, ampun! Benarkah itu tadi, Sakha? Bening mencoba menguak kerumunan sampan. Lehernya tak lelah dijulurkan mencari sosok yang mendadak lenyap, tenggelam dalam arus lalu lintas pasar.

Sakha? Ah tidak, dia tidak sejelek itu. Dan tidak sehitam si Tuan Sampan. Tapi seluruh fitur wajah dibalik caping butut itu memang sangat ‘Sakha’. Benarkah dia Sakha? Ah, mustahil bila dia Sakha! Tidak, tidak, itu tadi bukan Sakha! Aku jelas telah salah melihat! Terlampau mengkhayal! Dan kalaupun benar nelayan tadi adalah Sakha, masakan dia berlalu tanpa memastikan keberadaanku? Atau sudah demikian berubahkah aku, hingga dia sulit mengenaliku? Auu, Bening pusing tujuh keliling mendengar perang kata batinnya sendiri.

Caping telah dilepaskan, leherpun telah sejenjang jerapah, namun si Tuan Sampan benar-benar lenyap dari pandangan. Merah jingga itu bahkan sulit terdeteksi lagi, membaur dalam semarak warna sampan, kibaran bendera, dan aneka asesori yang bertujuan tak hanya memperindah namun sebagai identitas sampan yang wajib meriah…

[bersambung]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun