Mohon tunggu...
Zahra El Fajr
Zahra El Fajr Mohon Tunggu... Penulis - a melancholist

Teacher | Fiksiana Enthusiast | Membaca puisi di Podcast Konstelasi Puisi (https://spoti.fi/2WZw7oQ) | Instagram/Twitter : zahraelfajr | e-mail: zahraelfajr@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Jangan Siksa Kami

3 September 2016   21:41 Diperbarui: 31 Maret 2020   03:05 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu mereka bercekcok kembali, berbalas-balasan melemparkan kesalahan entah perkara apa. Aku tak mengerti, bahkan ketika menyelesaikan dengan bertemu pun, egoisme mereka tak mau padam apalagi melemah barang sedikit. Meskipun dulunya, kutahu bagaimana mereka saling menumbuhkan bunga cinta di halaman hati mereka. Kini, belum genap setengah tahun mereka saling mengumpat dengan kata-kata kasar. Betapa hati tidak memerlukan banyak tenaga untuk  berubah, bagaikan air yang mengikuti apapun yang mewadahinya.

Sehabis 3 bulan berlalu, mereka masih sangat labil; kadang bertengkar tak keruan. Kadang saling dekap tak ingin kehilangan satu sama lain. Kudengar Papa susah mendapat pekerjaan, dan Mama sering mengeluhkan kesendiriannya di rumah kontrakan. Jauh dari keluarga, jauh dari saudara. Mama mengalami banyak hal yang baru ia alami, tanpa ada yang mengarahkan.

Papa kembali lagi sore itu, dengan wajah putus aja dipaksakan tersenyum. Papa kelelahan, mengelus aku kemudian berlalu. Mama menghibur Papa yang gundah, meskipun kutahu Mama lebih menderita.

Seminggu kemudian, Papa mendapatkan pekerjaan, menjadi tukang angkut barang di toko kelontong milik Koh siapalah itu, nama oriental dengan mata sipit yang khas. Papa senang karena mendapatkan pekerjaan di toko yang tak jauh dari kontrakan kami.

Mama semakin gemuk, Mama mudah lapar dan akan memakan apa saja tak peduli tubuh langsingnya melebar. Tapi Mama tetap cantik dengan kulit putih, rambut pirang dan mata cokelat pias. Aku tak sabar berkaca, penasaran apakah aku secantik Mama?

Sudah dua minggu Papa kerja di toko itu, pulang malam dengan gurat lelah di wajahnya. Tapi malam ini, Papa tidak pulang. Mama tak biasanya gelisah seperti ini, menekan tombol handphone dengan panik, mencoba menghubungi siapa, aku tak tahu. Sesekali Mama mengeluh kesal, lalu mondar mandir ke pintu berharap Papa sudah pulang dan menaruh kelegaan di hati Mama. Sampai akhirnya Mama lelah menunggu Papa, atau lelah dengan apa yang ia keluhkan. 

Maka menghindarlah Mama ke kamar, menyiapkan segala hal lalu berbaring di kasur, kata Mama, Mama mules sangat dahsyat. Tengah malam Mama mengaduh-aduh kesakitan. Aku kasihan padanya. Mama sedang berusaha mengeluarkan aku lewat saluran reproduksinya, aku yang saat itu menyaksikan segala kegetiran yang Mama rasakan, rasanya belum cukup; aku ditayangi Mama yang sedang melahirkan seorang diri, aku tak yakin kami akan selamat.

Belum lagi, aku ragu Papa akan tiba dalam waktu dekat. Aku sangat malang, dilahirkan pada tanggal kesedihan bulan nelangsa, di tahun ini. Sedih sekali, Mama berpeluh keringat merasakan kengerian pertama dalam hidupnya seorang diri. Mama menangani aku dengan tegar, tanpa dukungan dan do’a.

Ilustration/Source: Weheartit
Ilustration/Source: Weheartit
Yang kutahu malam itu aku kedinginan, meskipun Mama telah mendekapku erat. Mungkin karena aku belum diadzani, atau mungkin karena rumah ini terlalu penuh duka. Aku tak bisa menipu diri sendiri bahwa ini memang salah Mama dan Papa, mereka yang menikah dini karena dipaksakan kecerobohan. Kehadiranku diramalkan terlalu cepat, sebab itulah Mama mendesak Papa untuk mempersuntingnya. Papa dan Mama sama sekali tak mendapat restu orang tua mereka, hingga kesialan terus membuntuti mereka, dan sialnya juga tak terkecuali aku. Aku dilahirkan dengan keadaan yang amat perih, aku yang jua seorang perempuan merasakan sekarat tanpa ujung yang Mama rasakan, sekaligus menuding bahwa mereka memang bersalah. 

Aku tak meminta dikunjungi ajal, tidak, Tuhan.. Aku hanya ingin mereka menemukan jalan yang jauh dari kesialan membuntuti. Aku ingin restu kakek nenekku juga maafnya menaungi keluarga malang kami ini. Aku minta kembalikan Papa ke rumah ini, sekiranya kakek nenek tak sampai hati melihat cucu yang dekil dengan kesedihan ini ikut merasakan hukuman maha kejam yang menggentayangi tanpa ampun.

Bandung, 2 September, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun