Mohon tunggu...
R. Janah Bunda Savita
R. Janah Bunda Savita Mohon Tunggu... Guru - Kompasianer Brebes Community Jawa Tengah

Menulislah Pasti Bertambah Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malin Kundang Tak Lagi Durhaka

29 Maret 2020   14:22 Diperbarui: 1 April 2020   09:35 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini hanya fiktif belaka yah. Cuma ambil nama tokoh cerita rakyat dari sumatera barat.

Sore itu,Malin Kundang anak muda gagah perkasa sedang melamun di teras rumahnya. Dia menghayal menjadi orang kaya se kampung. Dia senyum-senyum sendiri asik dengan mimpinya. Diapun tersungkur kaget mendengar suara cempreng emaknya.

"Eh Malin kerjaaan kau cuma melamun saja. Tak mungkinlah kau jadi kaya hanya dengan berdiam diri di rumah"

"Ah Emak ni ganggu saja. Tadi hampir aku menikah dengan si Siti anak juragan Burhan itu"

"Mana mungkin Siti mau dengan mu. Kerjaanmu cuma bengong saja. Cepat kau cari rumput untuk kambing kita"

"Bukan kambing kita Mak tapi titipan"

"Makanya itu kita harus jaga biar kita juga untung nantinya"

Meskipun masih kesal tapi Malinpun pergi ke sawah mencari rumput segar. Di sana dia bertemu dengan kawannya Hasan. Hasan bercerita tentang pamannya yang sekarang sukses di Jakarta. Hasanpun berniat pergi ke Jakarta mengadu nasibnya.

"Ayolah Malin kau ikut dengan ku. Di Jakarta kita pasti dapat kerjaan. Kita pasti jadi orang kaya. Kalau di sini cuma bisa mencari rumput seperti ini".

Hasan merayu Malin agar mau menemaninya. Malinpun tertarik dengan tawaran Hasan.

"Tapi kalau kita kesana dimana tinggalnya?"

"Kau tak perlu risau kan ada paman ku"

"Baiklah nanti aku ijin ke Emak"

"Tak perlulah kau ijin"

"Tak mungkin lah, aku tak mau jadi anak durhaka"

Selesai mengambil rumput Malinpun bergegas pulang. Tak sabar rasanya menceritakan rencananya itu. Sesampainya di rumah dia langsung memberi makan kambing-kambingnya. Dia tampak semangat.

Emaknya merasa aneh melihat kelakuan Malin. Tak biasanya dia seperti itu.

"Hey Malin, kau melamun lagi yah"

Malin terperanjat mendengarnya. Dia pun langsung lari mengejar emaknya.

"Mak sini duduk. Aku mau cerita"

"Ono opo toh"

"Loh sejak kapan Emak jadi orang Jawa?"

"Emak belajar dari tukang sayur keliling itu"

"ngene loh Mak, Malin mau ke Jakarta yah biar jadi orang kaya. Si Hasan mengajak ku"

"Eh kau pikir Jakarta gudangnya duit. Tinggal nyomot. Kata siapa Jakarta bisa bikin kau kaya"

"Ayolah Mak, banyak orang kampung sini merantau dan sukses"

"Sukses apanya? Mereka tak pernah kembali ke sini pun"

"Aku janji mak akan pulang tiap tahunnya,bukan seperti bang toyib"

"Jakarta itu sudah kebanyakan manusianya. Jangan lagi kau bebani"

"Emak ini gimana katanya aku tidak boleh di rumah saja, giliran aku mau ke Jakarta indak boleh"

"Bukan macam itu caranya, kau masih bisa cari uang di sini"

"Tapi dapatnya sedikit mak, q pengen cepat punya duit banyak"

"Pokoknya Emak tidak ijinkan"

Malinpun tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak mungkin pergi tanpa restu emaknya. Dia tak mau jadi anak durhaka. Dia tak mau dikutuk jadi batu.

Akhirnya Hasan berangkat sendiri. Sejak saat itu Malin tak lagi mendengar kabarnya. Sebenarnya Malin penasaran dengan nasib Hasan. Apakah dia sudah menjadi kaya atau belum.

"Emak..sudah 4 bulan Hasan ke Jakarta, dia sudah banyak duit belum yah?"

"Onde mande Malin, kau pikir cari kerjaan gampang di Jakarta. Bisa makan saja sudah untung dia"

"Tapi katanya di Jakarta enak mak"

"Kalau semua orang ke Jakarta, pusinglah nanti pk Anies nya. Sudahlah kau telateni saja dagangan mu itu"

"Jualan es keliling sehari cuma dapat 50.000, kapan aku bisa kawin"

"Bersyukurlah nanti rejekimu bertambah"

Mau tak mau Malinpun menurut perkataan Emaknya. Setiap hari dia berkeliling menjual es. Berapapun hasilnya diberikan kepada Emaknya.

Malam itu Malin dan Emaknya asyik makan sambil menonton tv. Semua tv memberitakan kolorna yang sedang merajalela. Malinpun akhir-akhir ini cemas memikirkan Hasan. 

Di pagi hari, Malin berniat pergi ke sawah namun langkahnya terhenti karena pk Hamdan datang ke rumahnya. Betapa kagetnya dia, ternyata pk Hamdan memberi kabar kalau Hasan telah meninggal karena virus kolorna itu.

"Innalillahi wainna ilaihinrojiun, semoga khusnul khotimah Hasan. Tak kusangka umurmu pendek"

"Iya, kabar itu saya terima tadi malam.

Malinpun mengabari Emaknya perihal Hasan. Emak hanya menundukkan kepala seraya berdoa.

"Mak, untunglah aku tidak jadi ikut merantau ke Jakarta"

"Sudahlah jangan sedih, doakan saja Hasan"

Lalu, Emak mengambil bungkusan putih dan memberikannya pada Malin.

"Ini apa Mak?"

"Kau nak kawin kan"

Mata Malin melotot melihat tumpukan kertas merah bergambar sang proklamator.

"Itu uang kau hasil jualan setiap hari. Banyak kan tidak perlu ke Jakarta.

Malin tersenyum lebar dan memeluk Emaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun