Tibalah kami di tanjakan yang cukup curam bernama Tanjakan Cangkel Hate, unik sekali. Tiba-tiba ada teriakan dari pendaki perempuan di puncaknya, "Semangat bang!" sambil cekikikan. Kupikir puncak itu adalah akhir ternyata salah, kami malah bertemu jalur umum lagi dan rutenya makin landai. Setelah menghabiskan 45 menit, tibalah kami di puncak Paniisan sehingga menghabiskan waktu tempuh dari parkiran 2 jam kurang. Â Yang tak terduga adalah adanya warung-warung di puncak, jadi mestinya tidak perlu membawa apa-apa. Dari gorengan, mie ayam, bakso, kelapa muda hingga soto tersedia disana. Lantaran kami sudah bawa kompor portable, kami tetap memasak mie disana , sekaligus membeli cemilan juga tentunya.

Di ketinggian 846 mdpl, terpancang bendera merah putih dan papan penanda. Panas Terik masih terasa disini sesekali mendung. Rupanya ini bukanlah akhir tapi puncak ini adalah titik pertemuan dari berbagai puncak yang ada di perbukita Sentul, bahkan jika mau, pendaki dapat melanjutkan perjalanan ke titik yang lebih tinggi yaitu Cisadon. Sayangnya kami memutuskan untuk pulang saja dan mengambil beberapa foto sebelum balik di titik tertentu.

Perjalanan Pulang dan Petualangan Baru
Kami pulang dengan rute yang berbeda menuju basecamp Leuwi Pangaduan, yaitu melewati Curug Cibingbin. Sepanjang mata memandang tidak ada orang dibelakang atau di depan selain kami. Karena Sok ngide pulang dari rute yang berbeda, kami sempat nyasar tiga kali di rute ini. Kami mengikuti jalan setapak yang kecil sekali dan kian jauh makin hilang, untungnya kami balik ke titik awal percabangan tentunya. Suasana gelap, dingin, dan sepi. Mendung berarak di angkasa menambah liar dan magis perbukitan ini.
Pandangan kami tertuju pada bukit Seberang. Ada sesuatu yang bergerak di balik pepohonan cengkeh. Rupanya itu penghuni asli bukit ini, monyet-monyet yang sedang bercengkarama. Entah sedang membahas manusia atau sedang memanen cengkeh. Untungnya mereka tidak mengganggu kami. Sinyal gps akhirnya muncul, kami memanfaatkannya supaya tidak keluar jalur resmi lagi.
Terus menyeberangi sungai kecil dan masuk area hutan yang lembab dan berlumut. Suasana makin gelap padahal sekitar jam dua siang. Kami tetap berpikiran positif dan berusaha pasang telinga mendengar riak air sungai. Karena tujuan kami adalah curug Cibingbin. Kami berdua tetap komunikasi untuk menjaga kefokusan dengan si Erwin memimpin di depan. Dia nampak tak letih sama sekali menyiratkan ketangguhan suku Mandar asal Sulawesi.

Setelah dua jam sempurna turun dari puncak, kami menemukan warung di tengah hutan. Nampak reot dan ada seorang ibu yang menyapa. Rupanya kami telah tiba di Curug Cibingbin, agak haru karena menemukan peradaban pikirku. Erwin langsung mandi di warung yang ada di situ, saya pun membeli air lagi karena tau perjalanan masih jauh. Leuwi Pangaduan masih jauh.
Kami sampai di Curug dan taulah apa yang akan terjadi, kami dimintai uang masuk seharga 10 ribu per orang. Dengan lobi-lobi yang alot, kami bisa nego menjadi 5 ribu perorang. Air terjun nampak bagus tapi aku sudah kepalang capek dan kesal sehingga tetap lanjutkan perjalanan. Ibu penjaga warung yang tadi kami lewati kebetulan pulang, kamipun dituntut hingga persimpangan jalan menuju parkiran motor.
