(Kenangan Menyambut HUT Kota Palu)
 Oleh: Jamrin Abubakar (Peminat Sejarah dan budaya)
 "Cukup sampai di ujung Jalur Dua saja turun. Taksi tidak bisa masuk sampai ke Jalan Dewi Sartika, soalnya jalan itu seperti sungai kering saja. Kalau sering antar penumpang ke jalan itu, oto kami cepat rusak."
Begitulah ucapan sopir sampai hari ini tidak bisa saya lupakan. Tetap melekat dalam memori, meskipun pengalaman itu sudah berlalu sekitar tiga puluh tahun lebih.
Ucapan itu bukan sekali dua kali, tapi puluhan kali diucapkan oleh sopir berbeda-beda. Bukan hanya saya mengalami, tapi ada puluhan atau mungkin ratusan orang merasakan bagi mereka yang tinggal di kawasan Jalan Dewi Sartika pada awal dekade 1990-an.
Sebagai anak tinggal di rumah paman di wilayah Kelurahan Birobuli (belum ada pemekaran). Kali pertama bermukim di sana awal dekade 1990-an di saat baru setahun atau dua tahun jalan itu dibuka lebar untuk memperlancar akses menuju Biromaru. Sebelumnya model jalan masih sempit dan beberapa bagian berlumpur.
Situasi pembangunan kota masa itu lebih banyak membuka jalan-jalan baru meski tidak langsung diaspal. Ada banyak jalan hanya pengerasan dengan batu-batu, termasuk Jalan Dewi Sartika cukup lama menikmati bebatuan sehingga setiap dilewati mobil pasti oleng ke sana ke mari.
Harap maklum saat itu terbilang pinggiran dan sekitarnya masih ditemui kebun tembakau dan petak-petak sawah di bagian kiri dan kanan. Kawasan itu memang dianggap di luar penggiran kota, karena batas jalan bagus adalah Basuki Rahmat hingga ke Jalan Abul Rahman Saleh menuju Bandara Mutiara.
Saya, salah satu di antara beberapa mahasiswa era dekade awal 90-an bermukim di wilayah Jalan Dewi Sartika sangat merasakan sulitnya mencari tumpangan taksi setiap pagi menuju kampus. Mesti jalan kaki satu kilo meter lebih menuju ujung Jalur Dua (Perempatan Muhammad Yamin) hanya untuk menunggu taksi. Begitu pun sebaliknya pulang kampus, mesti bersabar lagi, karena tujuan taksi hanya sampai di tempat star awal.
Taksi dimaksud adalah jenis oplet atau mikrolet sering disebut "angkot" pada era awal dekade 1990-an. Masa itu mikrolet paling banyak berseliweran di Kota Palu berbagai tujuan tanpa keteraturan rute meski sudah sering ditentukan oleh DLLAJ. Paling banyak tujuan Kampus Tondo, sebutan bagi Universitas Tadulako di kelurahan Tondo, karena masa itu masih ada tempat kuliah di kampus lama Bumi Bahari dan Jalan Setia Budi.