Mohon tunggu...
Jamrin Abubakar
Jamrin Abubakar Mohon Tunggu... wartawan

Penulis sejarah dan budaya yang beraktivitas di Donggala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mikrolet Palu di Jalan Sungai Kering

28 September 2025   09:20 Diperbarui: 29 September 2025   11:20 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Terminal Taksi Kota Donggala tujuan Palu tahun 2007 (sumber foto: Jamrin Abubakar)

(Kenangan Menyambut HUT Kota Palu)

 Oleh: Jamrin Abubakar (Peminat Sejarah dan budaya)

 "Cukup sampai di ujung Jalur Dua saja turun. Taksi tidak bisa masuk sampai ke Jalan Dewi Sartika, soalnya jalan itu seperti sungai kering saja. Kalau sering antar penumpang ke jalan itu, oto kami cepat rusak."

Begitulah ucapan sopir sampai hari ini tidak bisa saya lupakan. Tetap melekat dalam memori, meskipun pengalaman itu sudah berlalu sekitar tiga puluh tahun lebih. Ucapan itu bukan sekali dua kali, tapi puluhan kali diucapkan oleh sopir berbeda-beda. Bukan hanya saya mengalami, tapi ada puluhan atau mungkin ratusan orang merasakan bagi mereka yang tinggal di kawasan Jalan Dewi Sartika pada awal dekade 1990-an.

Sebagai anak tinggal di rumah paman di wilayah Kelurahan Birobuli (belum ada pemekaran). Kali pertama bermukim di sana awal dekade 1990-an di saat baru setahun atau dua tahun jalan itu dibuka lebar untuk memperlancar akses menuju Biromaru. Sebelumnya model jalan masih sempit dan beberapa bagian berlumpur.

Situasi pembangunan kota masa itu lebih banyak membuka jalan-jalan baru meski tidak langsung diaspal. Ada banyak jalan hanya pengerasan dengan batu-batu, termasuk Jalan Dewi Sartika cukup lama menikmati bebatuan sehingga setiap dilewati mobil pasti oleng ke sana ke mari. Harap maklum saat itu terbilang pinggiran dan sekitarnya masih ditemui kebun tembakau dan petak-petak sawah di bagian kiri dan kanan. Kawasan itu memang dianggap di luar penggiran kota, karena batas jalan bagus adalah Basuki Rahmat hingga ke Jalan Abul Rahman Saleh menuju Bandara Mutiara.

Saya, salah satu di antara beberapa mahasiswa era dekade awal 90-an bermukim di wilayah Jalan Dewi Sartika sangat merasakan sulitnya mencari tumpangan taksi setiap pagi menuju kampus. Mesti jalan kaki satu kilo meter lebih menuju ujung Jalur Dua (Perempatan Muhammad Yamin) hanya untuk menunggu taksi. Begitu pun sebaliknya pulang kampus, mesti bersabar lagi, karena tujuan taksi hanya sampai di tempat star awal.

Taksi dimaksud adalah jenis oplet atau mikrolet sering disebut "angkot" pada era awal dekade 1990-an. Masa itu mikrolet paling banyak berseliweran di Kota Palu berbagai tujuan tanpa keteraturan rute meski sudah sering ditentukan oleh DLLAJ. Paling banyak tujuan Kampus Tondo, sebutan bagi Universitas Tadulako di kelurahan Tondo, karena masa itu masih ada tempat kuliah di kampus lama Bumi Bahari dan Jalan Setia Budi.

Jangan harap sopir mau ambil penumpang dari kampus kalau meneybut tujuan Dewi Sartika, pasti dicuekin, kecuali kalau bilang sampai di ujung Jalur Dua saja, pasti dipersilahkan naik. Itupun mesti keliling kota dulu antar penumpang lain atau terdekat, termasuk antar penumpang ke Pasar Inpres baru menuju ujung Jalur Dua. Kadang menghabiskan waktu satu jam keliling kota sebelum sampai tujuan akhir. Itu kalau kebetula "kena sial" taksi dapat penumpang banyak mesti keliling. Bagi yang tidak sabar kadang terjadi pertengkaran dalam taksi hingga penumpang diturunkan secara paksa di tengah jalan. Begitulah romantika penumpang taksi masa sulit era dekade 1980-an hingga 1990-an.

Belakangan, saya beberapa kali kembali ke kawasan Dewi Sartika (Birobuli Selatan) sekadar jalan-jalan menikmati suasana di sana, tempat paman masih tinggal, sungguh banyak berubah. Deretan ruko telah menggantikan petak-petak sawah dan kebun tembakau, dulu jadi ciri khas. Bukan lagi pinggiran, melainkan sudah jadi pusat perkotaan. Jangankan mau beli tanah dengan harga mahal, mau cari lahan kosong pun sudah sulit didapatkan, tak seperti dulu para pendatang hampir setiap hari didatangi penduduk setempat menawarkan tanah untuk dijual, terutama kalau hendak pesta pernikahan keluarga mereka. Kini, kisah itu tinggal kenangan bagi yang merasakan. Hampir semua lahan-lahan sawah, kebun kacang dan pisang dulu cukup banyak, kini semua terisi bangunan-bangunan mewah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun