Terlahir dari garis keluarga yang mostly bekerja di pemerintahan, menuntut saya  untuk melanjutkan garis PNS yang sudah ada. Saya sendiri merasa harus melanjutkan garis  itu, sampai akhirnya saya berkunjung ke  Jogjakarta untuk pertama kalinya.
Sebelum memutuskan untuk menetap di Jogja, saya pernah di tahun 2012 berkunjung ke Daerah Istimewa ini. Saya begitu terkesan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota ini.Â
Keramahan orang-orangnya, harga barangnya, keteduhan atmosfirnya, saya suka. Saya merasa betah berlama-lamai.
Setelah balik ke Ambon, saya kemudian berpikir bagaimana orang-orang di daerah Istimewa itu bertahan hidup jika sehari-hari pemasukan mereka tidak lebih dari 100.000,- rupiah? Bisakah mereka bertahan hidup? bagaimana caranya?
Singkat cerita saya memutuskan untuk pindah ke Jogja sembari mempelajari bagaimana mereka bertahan hidup. Apa yang saya temukan? Ini!
1. Hidup seadanya, Hidup sewajarnya
Ini yang membuat saya tertegun dengan Jogja. Mungkin juga tidak semua orang; tapi beberapa orang yang saya temui bekerja di atas dasar menolong orang lain bukan di atas dasar uang. Ini bagi saya sesuatu yang jarang terjadi. But it happen here in Jogja.
2. Rejeki bisa datang dari mana saja
Nah ini yang bikin saya suka. Jika konsep berpikir saya dari dulu seperti ini, maka saya mungkin saja  tidak perlu mengikuti garis keluarga yang sebagian besar di jalur pemerintahan toh rejeki bukan dari situ saja dan rejeki bukan selalu tentang uang.
3. Syukuri semua yang ada
Belajar bersyukur dengan semua yang ada tidak semudah kita berucap. Namun belajar untuk tidak menuntut lebih dari apa yang kita terima juga sudah cukup untuk membuat saya bahagia. Intinya syukuri apa yang kita punya dan jangan paksakan apa yang semestinya tidak perlu.
Lalu apa hubungannya dengan jualan tomat, ahh itu hanya gaya bahasa, yang artinya jangan terpaku dengan satu sumber rejeki, dengan membuka pemikiran mencari jalan lain, kita juga masih bisa survive. Karena hidup tidak selamanya tentang uang.
Salam hangat dari kota Gudeg.