Oleh: Didi Subandi
"Kita tidak sekadar membangun visual yang menarik, tetapi seharusnya merangkum esensi sebelum terlambat." -- Nasihat Inspiratif
Pernahkah Anda mengalami situasi di mana sebuah proyek yang sebelumnya tampak menjanjikan, tiba-tiba terhenti? Atau saat klien yang awalnya antusias, menjadi sirna dan tak memberikan balasan? Kita sering kali cenderung menyalahkan klien atas kondisi tersebut. Faktor-faktor seperti anggaran yang menipis, perubahan pikiran, atau karakter klien yang aneh sering kali menjadi kambing hitam. Namun, setelah merenungkan banyak pengalaman, saya menemukan bahwa masalah sering kali berasal dari diri kita sendiri.
Saya menyebut fenomena ini sebagai "Kematian Proyek Desainer". Melalui analisis kebiasaan yang mungkin kita lakukan tanpa disadari, kita dapat mempercepat hilangnya nilai dari pekerjaan kita. Mari kita telaah lebih dalam melalui sebuah studi kasus yang mencerminkan pengalaman saya, yaitu Kasus Klien A.
 Tahap 1: Investigasi AwalÂ
Ketidaksinkronan antara Biaya dan Relevansi
Kasus Klien A: Saya merasa sangat senang ketika mendapatkan proyek pertama sebagai desainer. Klien A meminta logo yang "keren", dengan harga terjangkau dan revisi tanpa batas. Sebagai desainer yang baru terjun, saya mengiyakan permintaannya. Saya berhasil menciptakan logo yang menarik, namun setelah seminggu, klien tiba-tiba menghilang. Proyek ini pun terhenti.
Temuan:
 Saya tidak sekadar menggali kubur, tetapi juga memberi alat kepada klien untuk melakukannya.
Masalah 1:Â
Menurunkan Harga + Revisi Tak Terbatas. Saya membuat klien memandang desain sebagai barang komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Seth Godin, "Ketika Anda bersaing berdasarkan harga, Anda hanya dapat menang jika Anda adalah yang termurah, yang merupakan strategi yang konyol." Saya seharusnya menjual solusi yang bernilai, bukannya harga semata.
Masalah 2:Â
Hanya Menjual File, Bukan Kinerja. Meskipun saya menghasilkan visual yang estetis, saya gagal menanyakan tujuan di balik desain tersebut. Saya hanya memberikan file, tidak berkaitan dengan hasil bisnis yang sesungguhnya seperti penjualan atau kesadaran merek.
Kesimpulan Tahap 1:Â
Proyek ini tidak berkembang karena saya tidak mengaitkan desain dengan tujuan bisnis. Di mata klien, pekerjaan saya dianggap mudah dialihkan dengan menggunakan templat atau alat AI yang serupa dan lebih murah.
 Tahap 2: Investigasi Proses Â
Hilangnya Kreativitas dan Tumbuhnya Sikap Malas
Kasus Klien B: Saya beralih ke Klien B, sebuah startup yang memerlukan flyer promosi. Dengan cepat saya menerima brief, mendesain, dan mengirim hasilnya. Tanpa melakukan riset, saya tidak mempertanyakan mengapa flyer dibutuhkan, bahkan menolak penggunaan otomatisasi. Klien puas, namun penjualannya tak jauh berubah. Proyek berlanjut, tetapi saya tetap menerima bayaran sama, sambil merasakan kelelahan.
Temuan:Â
Saya tidak lagi bertindak sebagai desainer, tetapi lebih kepada robot.
Masalah 3:Â
Menjadi Pengambil Pesanan Tanpa Riset. Saya hanya menunggu perintah, tidak berfungsi sebagai partner strategis. Saya harusnya bertanya, "Apakah flyer ini sudah sesuai untuk audiens yang dituju?" Hasil mungkin menarik, tetapi tidak relevan.
Masalah 4:Â
Menolak Otomasi dan AI. Dengan bangga saya menyelesaikan pekerjaan secara manual, sementara tugas-tugas kecil seperti mengubah ukuran untuk berbagai platform bisa dijalankan oleh AI dalam waktu singkat. Saya menghabiskan waktu dan tenaga untuk hal yang seharusnya bisa diotomatiskan.
Kesimpulan Tahap 2:Â
Meskipun proyek ini tidak mati, nilai saya merosot karena saya tidak menghadirkan strategi, hanya tenaga. Klien membutuhkan lebih dari sekadar keterampilan, mereka membutuhkan tenaga kerja yang efisien.
Tahap 3: Investigasi Etika Â
Risiko Yang Mengintai
Kasus Klien C: Saya menerima proyek besar dan menciptakan visual dengan gaya modern. Terinspirasi dari berbagai gambar di Pinterest, saya menggunakan aset dari generative AI tanpa memverifikasi lisensinya. Setelah proyek selesai, enam bulan kemudian Klien C menghubungi saya dengan panik; konten mereka di media sosial dihapus karena pelanggaran hak cipta. Klien menggugat saya.
Temuan:Â
Penyebab kematian proyek ini bukanlah kualitas desain, melainkan ketidakprofesionalan.
Masalah 5:Â
Mengabaikan Etika dan Hukum. Saya abai terhadap lisensi aset, tidak memahami prinsip Content Credentials (C2PA) untuk keluaran AI, dan tidak mencantumkan hak penggunaan dalam kontrak. Risiko klien menghadapi tindakan hukum adalah "bom waktu" yang saya pasang sendiri.
Kesimpulan Tahap 3:Â
Proyek ini total gagal dan reputasi saya hilang. Klien mencari profesionalisme, lebih dari sekadar keterampilan.
Penutup:Â Mengarahkan Evolusi Profesi Desain
Pada akhirnya, kita tidak menuju kematian, melainkan evolusi dalam profesi ini. Sebagai penjaga profesi, tanggung jawab kita adalah mengarahkan evolusi ini ke jalan yang benar. Kita dituntut untuk menjadi manusia, penuh empati dan menyadari ketidaksempurnaan kita, di tengah kemajuan algoritma.
Baca juga artikel lainnya di
Hindarilah anggapan bahwa desain hanyalah sebuah biaya; nilai kita jauh lebih besar dari itu. Desainer Jessica Helfand menyatakan, "Desain bukanlah sekedar visual yang indah; itu adalah bukti kepedulian dan pemahaman terhadap kebutuhan manusia."
Mari kita bertransformasi dari sekadar eksekutor menjadi ahli strategi, orkestra AI, dan pemecah masalah. Ini bukan sekadar tugas, tetapi juga kesempatan kita untuk maju ke level berikutnya.
Baca juga artikel lebih inspiratif: Mengapa Banyak Desainer Grafis Hijrah Karier
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI