Mohon tunggu...
Jagat Alit
Jagat Alit Mohon Tunggu... Novelis - Konten Kreator

Mantan Super Hero. Sekarang, Pangsiun. Semoga Berkah Amin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serial Sejarah, Genjik dan Gendon

5 Desember 2019   00:18 Diperbarui: 5 Desember 2019   00:19 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari pinterest.com/quixotries.blogspot.com

Gendon, Genjik dan Suratan TakdirGendon, hanya tersenyum samar, melihat dua anak kampung bermain hormat bendera di bawah rerimbunan bilah bambu. Hatinya berdesir, seirama desiran dedaunan bambu yang bergesek magis.
Ia ingat dahulu, dalam adegan yang sama.
Yang menghormat bendera dengan semangat adalah Genjik, yang memegang bambu bendera adalah Gendon dirinya sendiri.

Cerita itu telah lama berselang, namun ketika ia bertemu dan menyaksikan adegan hormat bendera itu, kenangannya menggulung cepat ke masa lalu. Ke jaman perjuangan, sebelum Indonesia merdeka.

Gendon dan Genjik adalah sahabat sejati. Tak terpisahkan. Selalu berdua, di manapun mereka berada.
Di kali mereka berdua, di lapangan pinggir sawah, mereka berdua. Di kejar-kejar pemilik buah juwetpun mereka berdua, dikejar karena mencuri.
Di mana ada Gendon, dipastikan ada Genjik.
Di mana ada Genjik, Gendon tak ketinggalan ada di sana. Tidak terpisahkan. Mereka kecil bersama. Bermain bersama. Hingga tumbuh dewasapun bersama pula. Dua sahabat sejati.

Genjik karena keberanian dan ketangkasannya menjadi seorang pejuang dengan senjata laras panjang di tangan kanannya. Sedang Gendon, karena memang seorang penakut, ia tetap menjadi rakyat jelata.
Di mana ada Genjik di situ pula ada Gendon.
Genjik didepan menjaga dan menyerang musuh, Gendon di belakang menjaga perbekalan dan melindungi penduduk yang bergerak mengungsi.
Hingga tentara Jepang menguasai Indonesia, berhasil mengusir tentara Belanda dan saat itu Kabupaten Jepara jatuh ke tangan Jepang.

Terjadi eksodus besar-besaran, tentara kuning kecil ini ternyata lebih galak dari pada sinyo-sinyo merah muda itu.

Atas instruksi dari pemimpin perjuang yang bermarkas di Karisidenan Pati, sebelah timur Jepara. Dilakukan evakuasi rakyat yang dikawal tentara pejuang untuk bergerak ke timur meninggalkan daerah Jepara yang sudah hampir pelosok daerahnya di kuasai Jepang.

Rombongan bergerak ke timur, melintasi hutan, melintasi kebun, menyebrang kali, naik bukit, menempuh perjalanan panjang menghindari kekejaman tentara kuning kate itu.

Genjik dan tentara pejuang yang lain memimpin bergerak, menerabas hutan, melawan jika bertemu tentara Jepang.
Sedang Gendon dibelakang mengawal rakyat yang mengungsi dan mengurusi perbekalan.

Matahari sebentar lagi hilang ke arah barat. Magrib sebentar lagi turun, dari bawah rerimbunan pohon berbaris tentara, rakyat dan para sukarelawan. Markas pejuang tinggal beberapa kilo meter di depan. Dan perjalan harus cepat, sebelum gelap. Tinggal menyeberangi jembatan kayu dan bambu melintas di atas kali yang sangat lebar. Kalinya lebar dan berair deras. Mau tidak mau harus menyeberangi jembatan itu. Tempat yang sangat berbahaya dan tidak terlindung.

Jembatan itu hanya cukup menyeberang dua orang berendeng. Harus menyeberang dengan hati-hati, karena kalau ada beban melintas, jembatan itu bergoyang, berderit, berkereot... mengerikan.

Rombongan sudah melintas sebagian. Karena harus menyeberang hati-hati dan setiap melangkah jembatan akan bergoyang.

Matahari terus turun, semua kosentrasi tercurah, fokus dalam menyeberang.
Keadaan yang tegang, tiba-tiba pecah oleh suara teriakkan asing dan letusan senjata laras panjang bertubi-tubi dari balik punggung Gendon.
Tentara pejuang terjebak di atas jembatan oleh sergapan tentara Jepang. Jerit kesakitan menghambur getir menggetarkan malam yang sebentar turun. Dua tiga rakyat jelata, anak-anak, wanita dan orang tua, tersentak dan mengeluh rubuh mandi darah termakan senjata api yang mendesing bagaikan hujan. Beberapa orang nekat meloncat dari jembatan menyelamatkan diri, dan diterima oleh air kali yang berarus deras.

Tentara pejuang memberikan perlawanan, berlari serabutan kebelakang menyelamatkan para pengungsi. Baku tembak terjadi, dua tiga pejuang jatuh terkapar tersambar peluru. Tentara musuhpun tidak beda jauhnya nasib yang diderita.

Gendon dengan ketakutan, mencoba berlari dan menunduk menghindari peluru yang menyiraminya bagaikan hujan. Menembaki pejuang dan pengunsi.

" Aaa.. ," jerit Gendon, lagi-lagi sambungan lututnya terhantam peluru. Sudah habis harapannya, ketika dilihatnya tentara kate itu melempar tiga granat.
Satu meluncur deras melewati kepalanya, menghantam tiang penyangga jembatan dan meledak mematahkan tiang dan pagar jembatan.

" Buumm...bummm."

Yang kedua membuat satu pengungsi dan tentara menjadi korban.
Yang satu menggelundung ke arah Gendon. Gendon pucat pasi wajahnya, ia tidak bisa menyelamatkan diri, karena kakinya terluka parah. Ia memejamkan mata pasrah menanti kematian. Sedetik, dua detik, bukan tubuhnya berkeping-keping, akan tetapi, ia malah merasakan tubuhnya melayang terlempar dari pagar jembatan dan melayang, terjun dan tercebur kali.

Rasa air dingin membuatnya tetap sadar, dari balik air yang memercik, ia melihat Genjik sahabatnya, tetap memberikan perlawanan mati-matian kepada tentara Jepang. Dua tentara Jepang, tersentak kebelakang kepalanya, karena dada dan kepalanya tertembus peluru Genjik, namun granat terus menggelinding dan tepat dibawah kaki Genjik yang belum sempat menghindar, karena tubuhnya masih terbawa sentakan senapan yang tadi memuntahkan peluru.

" Buummm...."

Genjik diantara arus air kali yang menyeretnya timbul tenggelam masih sempat melihat Genjik sahabatnya. Sebelum kesadarannya hilang karena kepalanya menghantam batu yang ada ditengah kali. Semua gelap, dan hitam. Ia tidak ingat apa-apa lagi.

Gendon masih tersenyum samar melihat dua anak itu bermain hormat bendera,  Ada airmata yang meleleh dari ujung matanya. Hatinya berdenyut sedih dan nyeri. Tatapannya nanar sambil mengelus kaki kanannya yang tinggal sebatas paha. Karena dua peluru itu, menyebabkan kaki kanannya harus dipotong untuk menyelamatkan nyawanya.

Nyawa yang dua kali diselamatkan. Kedua karena amputasi kaki, dan yang pertama nyawa terselamatkan karena kesigapan Genjik menyelamatkan dengan melempar dirinya ke derasnya kali di bawah jembatan
Meski akhirnya Genjik sahabat sejatinya harus kehilangan nyawanya sendiri.

Genjik adalah pahlawannya, sahabatnya, yang begitu bersemangat menghormat bendera merah putih diatas tiang bambu seperti itu, dulu!

Hidup atau mati adalah bukan pilihan tapi suratan.
Bagi Gendon dan Genjik. Sahabat sejati yang akhirnya terpisahkan jua oleh takdir.

Cerita Gendon, 40 tahun kemudian, sebelum akhirnya ia pergi untuk berkumpul kembali dengan Genjik sahabatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun