Mohon tunggu...
Dr. Jafrizal
Dr. Jafrizal Mohon Tunggu... Dr. drh. Jafrizal, MM, Pejabat Otoritas Veteriner Provinsi Sumatera Selatan, Ketua PDHI Sumsel 2016-2024, Praktisi dan Owner Jafvet Clinic, Abdi Negara di Pemprov Sumsel, Dosen Ekonomi Industri dan Agribisnis

Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hari Telur Dunia: Dari Kandang Lokal Menuju Standar Dunia

9 Oktober 2025   16:27 Diperbarui: 9 Oktober 2025   16:27 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Telur NKV, Bebas Salmonella (Jf)

Setiap tahun, dunia memperingati Hari Telur Dunia pada Jumat kedua bulan Oktober.
Banyak yang merayakannya dengan kegiatan sederhana---bagi-bagi telur di sekolah, lomba masak, atau sekadar unggahan di media sosial dengan tagar #WorldEggDay.
Namun, di balik semua euforia itu, ada satu pertanyaan besar yang seharusnya kita ajukan bersama:
Kapan telur lokal kita diakui setara dengan standar telur dunia?
Telur Bukan Sekadar Pangan Murah, Tapi Penentu Mutu Bangsa
Mari kita mulai dari fakta sederhana: telur adalah sumber protein terbaik yang dimiliki umat manusia.
Kandungan gizinya lengkap, harganya terjangkau, dan serbaguna untuk semua usia.
Telur bukan cuma bahan sarapan, tapi juga senjata melawan stunting, gizi buruk, dan ketimpangan pangan.
FAO bahkan menobatkan telur sebagai "superfood for all".
Sayangnya, di negeri yang produksi telurnya mencapai jutaan ton per tahun, kita masih terjebak pada kebiasaan lama: memproduksi banyak, tapi belum seragam mutunya.
Inilah paradoksnya: kita kaya telur, tapi miskin standar.
Higiene dan Sanitasi: Titik Awal Kepercayaan Dunia
Telur yang baik tidak lahir dari keberuntungan, tapi dari disiplin higiene dan sanitasi.
Kandang yang bersih, air minum yang steril, dan penanganan pasca panen yang rapi bukan sekadar formalitas --- itu fondasi kepercayaan global.
Masalahnya, masih banyak telur yang:
* dikumpulkan tanpa sarung tangan,
* disimpan di suhu ruang berhari-hari,
* atau dijual tanpa penyortiran mutu.
Di mata pasar dunia, itu bukan hanya menurunkan harga, tapi juga menurunkan reputasi bangsa.
Sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) seharusnya menjadi simbol kebanggaan, bukan sekadar syarat administrasi.
Karena setiap kode NKV adalah bukti bahwa telur tersebut lahir dari sistem yang bersih, terkontrol, dan bisa ditelusuri.
Bebas Residu Antibiotik: Standar yang Tak Bisa Ditawar
Salah satu alasan produk asal hewan ditolak di pasar global adalah residu antibiotik.
Telur yang berasal dari ayam yang diobati tapi belum melewati masa henti obat bisa menyisakan zat kimia di dalamnya.
Dampaknya?
* Bisa memicu resistensi antibiotik pada manusia,
* Menimbulkan gangguan kesehatan,
* Dan mencoreng nama produk asal Indonesia di pasar internasional.
Di sinilah pentingnya dokter hewan dan peternak bekerja berdampingan.
Peternak tidak boleh lagi sembarangan menggunakan antibiotik "karena ayamnya lesu".
Obat harus digunakan dengan resep, dicatat, dan diawasi masa hentinya.
Telur tanpa residu antibiotik bukan cuma aman, tapi juga layak disebut produk berkelas dunia.
Bebas Salmonella: Tantangan Global yang Bisa Kita Menangkan
Kita sering mendengar istilah Salmonella --- bakteri yang menyebabkan keracunan makanan.
Di negara-negara maju, keberadaan Salmonella enteritidis dalam telur adalah alasan utama larangan impor.
Masalahnya, telur yang tampak bersih bisa saja mengandung bakteri ini di dalamnya.
Maka, dunia menetapkan syarat ketat:
* Kandang harus diuji rutin terhadap Salmonella,
* Vaksinasi ayam dilakukan terjadwal,
* Sistem biosekuriti diterapkan hingga ke zona distribusi.
Apakah ini bisa diterapkan di Indonesia?
Jawabannya: bisa, dan sudah mulai.
Banyak peternakan rakyat yang kini sadar pentingnya biosekuriti tiga zona dan pembersihan rutin peralatan.
Namun, agar menjadi gerakan nasional, perlu dukungan kebijakan dan insentif.
Dari Telur Lokal Menuju Telur Global
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan apa pun --- ayamnya kuat, peternaknya tangguh, dan konsumennya loyal.
Yang kurang hanya satu: komitmen kolektif untuk menegakkan standar.
Karena dunia tidak menilai seberapa banyak kita menghasilkan telur,
melainkan seberapa aman dan terjamin mutu telur yang kita hasilkan.
Ketika setiap telur lokal memiliki:
* sertifikat NKV,
* hasil uji bebas antibiotik,
* jaminan bebas Salmonella,
* dan ditangani dengan standar higienis,
maka kita bisa mengatakan dengan bangga:
"Telur Indonesia layak jadi standar dunia."
Dari Telur, Kita Bangun Reputasi Bangsa
Hari Telur Dunia bukan sekadar perayaan pangan.
Ia adalah cermin --- sejauh mana bangsa ini menghargai mutu, disiplin, dan tanggung jawab dalam pangan yang kita hasilkan.
Telur memang sederhana, tapi ia membawa pesan besar:
bahwa kemajuan sebuah bangsa bisa dilihat dari caranya menjaga mutu telur.
Jadi, saat kita makan telur hari ini, mari renungkan sejenak:
Apakah telur yang kita nikmati sudah berstandar dunia?
Kalau belum, mari kita mulai dari kandang, dari disiplin, dari kesadaran --- karena dunia menunggu telur terbaik dari Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun