Mohon tunggu...
Dr. Jafrizal
Dr. Jafrizal Mohon Tunggu... Dr. drh. Jafrizal, MM, Pejabat Otoritas Veteriner Provinsi Sumatera Selatan, Ketua PDHI Sumsel 2016-2024, Praktisi dan Owner Jafvet Clinic, Abdi Negara di Pemprov Sumsel, Dosen Ekonomi Industri dan Agribisnis

Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kita Bisa Impor Pangan Tapi Tidak Bisa Impor Kemandirian Pangan

7 Oktober 2025   08:39 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:10 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemandirian Pangan (Jaf)

Oleh: Dr. drh. Jafrizal, MM

Tahukah Anda, menurut Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022 (belum tersedia data terbaru), Indonesia berada di peringkat 63 dari 113 negara?
Posisi ini masih jauh di bawah Malaysia (peringkat 41) dan Singapura (peringkat 28).
Padahal kita punya segalanya --- lahan luas, laut kaya, petani tangguh, dan pasar yang besar.
Lalu, kenapa kita masih tertinggal?

Jawabannya sederhana tapi menyakitkan: sistem pangan kita belum efisien, belum merata, dan belum cukup tangguh menghadapi perubahan zaman.
Mulai dari hasil panen yang terbuang karena rantai pasok berantakan, harga pangan yang fluktuatif, sampai gizi masyarakat yang belum merata.
Kalau kita ingin naik kelas, Indonesia butuh langkah revolusioner, bukan sekadar tambal sulam.

Berikut ini tujuh langkah strategis dan konkret agar dalam lima tahun ke depan, posisi Indonesia di GFSI bisa naik 15--20 peringkat, dan yang terpenting: rakyat makin sejahtera dan pangan makin terjamin.

1. Pangan Terjangkau untuk Semua

Masalah terbesar masih soal akses dan keterjangkauan.
Harga pangan sering tidak stabil, dan keluarga miskin paling merasakan dampaknya.
Solusinya: ubah sistem subsidi menjadi subsidi langsung untuk pangan dan gizi, bukan hanya pupuk atau benih.
Gunakan data by name by address agar tepat sasaran.
Bayangkan kalau setiap keluarga rentan bisa punya "kartu pangan" yang bisa digunakan untuk beli bahan bergizi di pasar lokal --- lebih adil, lebih efektif.

2. Kurangi Pangan yang Terbuang

Fakta mengejutkan: sekitar 30% hasil panen kita hilang di perjalanan --- busuk, rusak, atau tidak sempat dijual.
Padahal itu sama saja dengan membuang tenaga petani dan sumber daya alam.
Solusi cepatnya adalah memperkuat rantai dingin (cold chain), membangun gudang dan pasar modern di tingkat desa dan kabupaten.
Kalau produk segar bisa bertahan lebih lama, harga lebih stabil dan petani dapat untung lebih baik.

3. Pastikan Pangan Aman dan Berkualitas

Kita sering lupa bahwa keamanan pangan adalah bagian dari ketahanan pangan.
Produk asal hewan harus punya sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sedangkan produk olahan perlu label dan jejak asal yang jelas (traceability).
Bayangkan kalau tiap produk di pasar punya QR code yang bisa kita scan untuk tahu asalnya --- seperti di Jepang atau Korea.
Konsumen lebih tenang, pelaku usaha lebih dipercaya.

4. Pertanian yang Tahan Iklim

Perubahan iklim sudah di depan mata.
Banjir, kekeringan, dan serangan hama makin sering terjadi.
Maka, petani harus dipersenjatai dengan benih tahan cuaca ekstrem, sistem irigasi hemat air, dan pengetahuan baru lewat penyuluhan digital.
Kita perlu menjadikan "adaptasi iklim" bukan jargon, tapi gerakan nasional petani tangguh.

5. Tata Niaga yang Adil dan Transparan

Seringkali harga di tingkat petani murah, tapi di kota mahal.
Kenapa? Karena rantai perdagangan terlalu panjang dan kebijakan ekspor-impor kadang berubah mendadak.
Sudah saatnya tata niaga diatur ulang: logistik harus efisien, biaya transportasi ditekan, dan kebijakan perdagangan dibuat konsisten.
Kalau petani bisa jual produk dengan harga wajar dan konsumen bisa beli dengan harga terjangkau, semua diuntungkan.

6. Teknologi dan Data Jadi Tulang Punggung

Pertanian modern bukan lagi soal cangkul dan pupuk, tapi data dan teknologi.
Mulai dari sensor tanah, aplikasi cuaca, hingga platform digital harga pasar --- semua harus terintegrasi.
Bayangkan satu dashboard nasional yang bisa memantau stok beras, cabai, telur, atau ikan secara real time.
Dengan data yang akurat, kebijakan tidak perlu lagi "menebak-nebak".

7. Petani dan UMKM Jadi Pemain Utama

Kunci ketahanan pangan bukan di gedung kementerian, tapi di tangan petani, nelayan, dan UMKM pangan.
Mereka perlu akses ke kredit mikro, asuransi cuaca, dan pasar yang pasti.
Program kemitraan antara petani dan perusahaan juga harus diperluas agar hasil panen tidak lagi bergantung pada tengkulak.

Menuju Lompatan Peringkat, Bukan Sekadar Peningkatan

Kalau semua langkah ini dijalankan dengan disiplin, Indonesia bukan hanya bisa naik ke peringkat 40-an dalam GFSI, tapi juga jadi contoh negara yang berhasil membangun sistem pangan berkeadilan.
Bukan karena kita ingin mengalahkan Malaysia atau Singapura, tapi karena rakyat Indonesia pantas punya jaminan pangan yang aman, bergizi, dan berkelanjutan.

Kita tidak kekurangan ide, tidak kekurangan sumber daya.
Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan politik yang kuat, sinergi antar-instansi, dan keberanian untuk berubah.
Karena revolusi pangan bukan sekadar soal pertanian --- tapi soal masa depan bangsa.

"Kita bisa impor pangan, tapi kita tidak bisa impor kemandirian."
Dan kemandirian itu dimulai hari ini --- dari sawah, tambak, dan dapur-dapur rakyat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun