Mohon tunggu...
Dr. Jafrizal
Dr. Jafrizal Mohon Tunggu... Dr. drh. Jafrizal, MM, Pejabat Otoritas Veteriner Provinsi Sumatera Selatan, Ketua PDHI Sumsel 2016-2024, Praktisi dan Owner Jafvet Clinic, Abdi Negara di Pemprov Sumsel

Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rumah Potong Hewan Unggas: Pelaku Usaha dan Parent Stock Punya Tanggung Jawab untuk Daging Ayam Aman dan Bermartabat

4 Oktober 2025   18:02 Diperbarui: 4 Oktober 2025   19:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi RPHU Mini lengkap dengan Juru Sembelih Halal (Ilustrator: Jaf)

RPH-U:   Tanggung Jawab Bersama untuk Daging Ayam  Aman dan Bermartabat
Oleh: Dr. drh. Jafrizal, MM/ Dokter Hewan

Ketika kita berbicara tentang pangan terutama daging ayam, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang martabat bangsa. Daging ayam  yang masuk ke tubuh masyarakat harus dijamin aman, sehat, utuh, dan halal. Itulah mengapa keberadaan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) menjadi sangat krusial, karena di sinilah titik paling rawan sekaligus paling strategis dalam menjamin kualitas daging unggas yang beredar di masyarakat.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (jo. UU 41/2014) dengan tegas menyatakan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan wajib dilakukan di rumah potong yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet) dan kesejahteraan hewan (Kesrawan). Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 bahkan memperjelas bahwa pendirian rumah potong harus memenuhi persyaratan teknis: mulai dari pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, penjaminan higiene sanitasi, ketersediaan air bersih, hingga pencegahan kontaminasi biologis, kimia, dan fisik.

Artinya, RPHU bukan sekadar tempat menyembelih ayam. Ia adalah benteng terakhir yang memastikan bahwa daging yang sampai ke meja makan masyarakat benar-benar aman.

Pemerintah Daerah: Penjamin Fasilitas Publik

Undang-Undang memberikan mandat yang jelas: pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dengan demikian, keberadaan RPH adalah tanggung jawab negara melalui pemerintah daerah, sebagai bentuk pelayanan publik di bidang pangan.

Namun, tanggung jawab ini bukan berarti pemerintah harus berjalan sendirian. Regulasi juga membuka ruang bagi setiap orang atau badan usaha untuk mendirikan RPH unggas, sepanjang memenuhi syarat dan memperoleh izin dari bupati/walikota. Di sinilah kolaborasi antara negara dan swasta menemukan titik pentingnya: pemerintah menyediakan fasilitas dasar, sementara pelaku usaha diberi ruang untuk mengembangkan usaha pemotongan secara profesional.

Pelaku Usaha dan Parent Stock: Ujung Tombak Pemenuhan Standar

Khusus bagi pelaku usaha perunggasan skala besar, kewajiban ini semakin tegas. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2024 mengatur bahwa pelaku usaha dengan kapasitas chick-in tinggi (60.000 ekor DOC FS per minggu) wajib memiliki RPHU yang ber-NKV serta dilengkapi fasilitas rantai dingin.

Mengapa? Karena pelaku usaha skala besar memiliki dampak besar pula terhadap rantai pasok pangan nasional. Bayangkan jika jutaan ekor ayam dipotong tanpa standar kesehatan yang jelas---maka risiko penyakit, kontaminasi, bahkan kerugian ekonomi bisa sangat masif.

Lebih jauh lagi, regulasi ini juga membebankan tanggung jawab kepada pembibit Parent Stock (PS) yang mendistribusikan DOC FS. Mereka wajib memastikan bahwa ayam hasil produksi anakannya hanya dipotong di RPHU yang ber-NKV dan memiliki rantai dingin. Dengan kata lain, hulu tidak boleh lepas tangan terhadap hilir.

Otoritas Veteriner: Pengawas dan Pembina

Lalu siapa yang memastikan semua aturan ini berjalan? Jawabannya adalah Otoritas Veteriner yang hadir di dua tingkatan.

  • Otoritas Veteriner Provinsi berwenang menerbitkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
  • Melakukan pembinaan teknis dan koordinasi lintas kabupaten/kota.
  • Menjadi penghubung kebijakan pusat dengan implementasi di daerah.
  • Otoritas Veteriner Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi izin usaha RPHU; Melakukan pengawasan langsung terhadap operasional pemotongan; Memberikan pembinaan harian, mulai dari biosekuriti, SOP penyembelihan, hingga higiene sanitasi.

Peran ganda ini memastikan adanya keseimbangan: provinsi mengatur dan mengoordinasikan, sementara kabupaten/kota mengawasi dan membina secara operasional.

TJSL: Kepedulian pada Skala Kecil

Di samping kewajiban formal tersebut, ada pula tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang melekat pada pelaku usaha dan pembibit PS. Tidak semua peternak rakyat, koperasi, atau pelaku usaha mandiri mampu membangun atau mengakses RPHU skala besar. Oleh karena itu, PS dan pelaku usaha besar berkewajiban ikut mendukung penyediaan RPHU skala kecil yang memenuhi syarat administrasi dan teknis.

Langkah ini bukan hanya bentuk kepatuhan regulasi, tetapi juga wujud nyata dari keadilan sosial. Dengan adanya RPHU skala kecil yang legal, higienis, dan ber-NKV, peternak rakyat dapat tetap berdaya saing tanpa harus keluar dari sistem formal. Inilah solidaritas hulu-hilir yang akan memperkuat ketahanan pangan nasional secara menyeluruh.

Kolaborasi: Kunci Keberhasilan

Dari seluruh regulasi ini, satu pesan yang sangat jelas adalah: RPHU bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama.

  • Pemerintah daerah menyediakan fasilitas dasar dan regulasi.
  • Pelaku usaha menjadi operator utama dengan standar yang ketat.
  • Pembibit Parent Stock ikut memastikan kepatuhan mitra di lapangan.
  • Otoritas Veteriner hadir sebagai pengawas sekaligus pembina.

Inilah ekosistem kolaboratif yang kita butuhkan. Tanpa pemerintah, tidak ada jaminan fasilitas publik. Tanpa pelaku usaha, tidak ada kemandirian usaha. Tanpa pembibit PS, rantai hulu-hilir bisa terputus. Dan tanpa otoritas veteriner, semua itu tidak akan terawasi dengan baik.

Menjadikan RPHU Sebagai Simbol Peradaban

Pada akhirnya, membangun dan mengelola RPHU dengan baik bukan sekadar urusan teknis. Ia adalah cermin dari peradaban sebuah bangsa. Bangsa yang peduli terhadap kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat, dan kehalalan pangan adalah bangsa yang menempatkan martabat manusia pada derajat tertinggi.

Karena itu, marilah kita melihat RPHU bukan sebagai beban, tetapi sebagai investasi peradaban. Pemerintah, pelaku usaha, pembibit, dan otoritas veteriner harus berjalan seiring, memastikan bahwa setiap potong daging ayam yang sampai ke masyarakat adalah buah dari kerja sama, integritas, dan tanggung jawab bersama.

RPHU adalah tanggung jawab kita semua.

Karena dari sanalah lahir pangan aman, sehat, dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 1. Ilustrasi Alur.Tanggung Jawab RPHU  (Ilustrator: Jaf)
Gambar 1. Ilustrasi Alur.Tanggung Jawab RPHU  (Ilustrator: Jaf)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun