Mohon tunggu...
Jaeza Amalina Ghaisyani
Jaeza Amalina Ghaisyani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapitalisme dan Keheningan: Mengapa Masyarakat Tidak Lagi Marah?

26 Juni 2025   23:54 Diperbarui: 26 Juni 2025   23:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa disadari, banyak bentuk perlawanan hari ini justru memberi ruang pada pasar untuk menyerap, menjual, dan menetralisir kemarahan itu sendiri.

Keheningan yang Dibentuk: Antropologi dari Apatisme

Antropologi membantu kita memahami bahwa keheningan bukan sekadar ketiadaan suara, tapi bisa menjadi hasil dari proses sosial dan budaya yang panjang. James C. Scott (1990) pernah menjelaskan bahwa kelompok tertindas kadang memilih diam sebagai strategi bertahan hidup. Tapi dalam masyarakat neoliberal saat ini, diam bukan lagi strategi, melainkan hasil internalisasi: kita tidak lagi merasa perlu marah.

Narasi-narasi seperti "sabar saja", "jangan cari masalah", atau "yang penting kita selamat" adalah bagian dari budaya yang membentuk ketenangan sebagai satu-satunya jalan. Faye Ginsburg (2002) menyebut kondisi ini sebagai cultural anesthesia --- pembiusan kolektif yang membuat orang tak lagi merasa terganggu oleh ketidakadilan, seolah semua itu sudah wajar.


Marah Adalah Tanda Masih Peduli

Tulisan ini bukan ajakan untuk membenci. Tapi di tengah sistem yang berusaha membuat kita diam, marah adalah tanda bahwa kita masih terhubung dengan realitas sosial. Marah tidak harus berarti kekerasan. Ia bisa menjadi bentuk empati yang paling jujur, sumber solidaritas, dan bahan bakar perubahan.

Kapitalisme hari ini terlalu lihai. Ia tidak melarang kita protes, tetapi membuat kita percaya bahwa protes tak ada gunanya. Di saat seperti ini, mempertanyakan dan merasakan ketidaknyamanan justru adalah langkah awal menuju kesadaran.

Jika kita tidak lagi merasa perlu marah, mungkin bukan karena dunia sudah lebih adil, melainkan karena kita sudah terlalu sering diyakinkan bahwa diam adalah satu-satunya pilihan yang waras.

Referensi

Berlant, L. (2011). Cruel optimism. Duke University Press. https://doi.org/10.1215/9780822394716


Ginsburg, F. (2002). Mediating culture: Indigenous media, ethnographic film, and the production of identity. In F. Ginsburg, L. Abu-Lughod, & B. Larkin (Eds.), Media worlds: Anthropology on new terrain (pp. 287--309). University of California Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun