Di tengah dunia yang penuh ketimpangan, mengapa amarah kolektif jarang muncul sebagai gerakan politik yang kuat? Tulisan ini menyelidiki bagaimana sistem kapitalisme meredam kemarahan sosial dan mengubahnya menjadi konsumsi, hiburan, atau apatisme.
Korban kekerasan dipaksa berdamai karena pelaku orang berkuasa, lahan warga digusur atas nama pembangunan, para aktivis dikriminalisasi. Semua ini bukan lagi kejutan. Ketidakadilan hadir di hadapan kita setiap hari. Tapi yang mencemaskan justru bukan hanya ketimpangan itu sendiri, melainkan bagaimana masyarakat tampak semakin terbiasa. Tidak ada gelombang kemarahan kolektif. Tidak ada mobilisasi besar-besaran. Bahkan, suara-suara yang bertanya pun semakin pelan.
Mengapa kita tidak lagi marah?
Fenomena ini tidak bisa dijelaskan semata lewat minimnya pendidikan politik atau apatisme generasi. Di balik diamnya publik, ada kerja sistemik yang berlangsung lama dan halus. Kapitalisme hari ini bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga cara berpikir, merasa, dan memaknai hidup.
Kapitalisme Emosional: Amarah yang Dijinakkan
Dalam budaya populer dan keseharian kita, emosi seperti kemarahan perlahan dikaitkan dengan ketidakmatangan. Kita diajak untuk tetap positif, bersyukur, dan fokus memperbaiki diri. Padahal, dalam banyak kasus, rasa marah adalah reaksi yang sehat terhadap ketidakadilan.
Sosiolog Eva Illouz (2007) menyebut fenomena ini sebagai emotional capitalism, yakni bagaimana sistem ekonomi turut mengatur dan mengkomodifikasi emosi manusia. Masyarakat didorong untuk "mengelola perasaan secara bijak", tetapi dalam praktiknya, ini sering berarti menahan kemarahan dan menerima keadaan.
Dengan kata lain, sistem hari ini tidak membungkam kemarahan secara kasar. Ia hanya membuat kita merasa bahwa marah itu tidak produktif, bahkan memalukan.
Ketika Kritik Menjadi Konten
Di era media sosial, banyak orang tetap menyuarakan ketidakpuasan. Tapi apakah itu cukup? Marah di Twitter atau membuat thread panjang bisa menjadi bentuk pelampiasan, tapi sering kali berhenti di sana. Respons publik terfragmentasi, cepat tergantikan, dan tidak punya daya dorong politik yang kuat.
Kemarahan di era digital sering kehilangan daya subversif karena langsung dikemas ulang menjadi konsumsi. Kritik sosial bisa viral, tapi juga cepat tenggelam. Lauren Berlant (2011) menyebut kondisi ini sebagai cruel optimism: kita berharap pada sistem yang sama yang justru melemahkan kita.
Tanpa disadari, banyak bentuk perlawanan hari ini justru memberi ruang pada pasar untuk menyerap, menjual, dan menetralisir kemarahan itu sendiri.
Keheningan yang Dibentuk: Antropologi dari Apatisme
Antropologi membantu kita memahami bahwa keheningan bukan sekadar ketiadaan suara, tapi bisa menjadi hasil dari proses sosial dan budaya yang panjang. James C. Scott (1990) pernah menjelaskan bahwa kelompok tertindas kadang memilih diam sebagai strategi bertahan hidup. Tapi dalam masyarakat neoliberal saat ini, diam bukan lagi strategi, melainkan hasil internalisasi: kita tidak lagi merasa perlu marah.
Narasi-narasi seperti "sabar saja", "jangan cari masalah", atau "yang penting kita selamat" adalah bagian dari budaya yang membentuk ketenangan sebagai satu-satunya jalan. Faye Ginsburg (2002) menyebut kondisi ini sebagai cultural anesthesia --- pembiusan kolektif yang membuat orang tak lagi merasa terganggu oleh ketidakadilan, seolah semua itu sudah wajar.
Marah Adalah Tanda Masih Peduli
Tulisan ini bukan ajakan untuk membenci. Tapi di tengah sistem yang berusaha membuat kita diam, marah adalah tanda bahwa kita masih terhubung dengan realitas sosial. Marah tidak harus berarti kekerasan. Ia bisa menjadi bentuk empati yang paling jujur, sumber solidaritas, dan bahan bakar perubahan.
Kapitalisme hari ini terlalu lihai. Ia tidak melarang kita protes, tetapi membuat kita percaya bahwa protes tak ada gunanya. Di saat seperti ini, mempertanyakan dan merasakan ketidaknyamanan justru adalah langkah awal menuju kesadaran.
Jika kita tidak lagi merasa perlu marah, mungkin bukan karena dunia sudah lebih adil, melainkan karena kita sudah terlalu sering diyakinkan bahwa diam adalah satu-satunya pilihan yang waras.
Referensi
Berlant, L. (2011). Cruel optimism. Duke University Press. https://doi.org/10.1215/9780822394716
Ginsburg, F. (2002). Mediating culture: Indigenous media, ethnographic film, and the production of identity. In F. Ginsburg, L. Abu-Lughod, & B. Larkin (Eds.), Media worlds: Anthropology on new terrain (pp. 287--309). University of California Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks. International Publishers.
Illouz, E. (2007). Cold intimacies: The making of emotional capitalism. Polity Press.
Scott, J. C. (1990). Domination and the arts of resistance: Hidden transcripts. Yale University Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI