di suatu kabupaten ada sebuah gedung megah yang berdiri sebagai simbol kekuasaan dan pelayanan, kita pasti tau kantor bupati. Dari sanalah, roda pemerintahan diputar, kebijakan dirumuskan, dan nasib jutaan warga ditentukan. Kita berharap, di balik dinding gedung itu, ada telinga yang selalu terbuka, hati yang lapang, dan pikiran yang nalar serta tidak buta. Namun, fakta ironis yang sering kita temukan dari sikap mereka yang anti kritik. berada di balik dinding gedung itu
seorang bupati yang antikritik bukanlah sekadar pemimpin yang keras kepala. Ia adalah sebuah masalah sistemik yang dapat melumpuhkan pembangunan dan merusak tatanan demokrasi di tingkat lokal. Ketika cermin kritik dipecahkan atau ditolak mentah-mentah, maka wajah asli daerah itu akan sulit terlihat, dan masalah-masalah krusial tak akan pernah tersentuh perbaikan.
Di setiap desa, di setiap sudut kabupaten, selalu ada cerita yang berbisik. Ada keluhan tentang jalan yang tak kunjung mulus, tentang layanan kesehatan yang payah, atau tentang janji-janji yang tak kunjung di lakukan. Suara-suara ini, sekecil apa pun, adalah dasar dari demokrasi, cerminan dari keinginan rakyat untuk hidup lebih baik. Namun, tak jarang, suara itu justru meredup, terbungkam.
Pembungkaman suara ini bukan sekadar insiden sesekali. Ini adalah praktik sistematis di mana pihak yang berkuasa-entah itu pejabat daerah, elite politik,intansi atau bahkan orang yang memiliki kekuatan ekonomi tertentu-berusaha menekan, menghalangi, atau bahkan mengintimidasi siapa pun yang berani menyuarakan kritik,  atau aspirasi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Ini adalah penyakit  menggerogoti kebebasan berpendapat dan melemahkan demokrasi di tingkat bawah.
bahkan ada juga Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berani kritis dan tidak mau mensukseskan apa yang di rencanakan oleh bupati, ia akan di mutasi ke daerah terpencil atau penurunan jabatan bisa menjadi hukuman tak tertulis. Untuk pelaku usaha kecil yang punya pandangan berbeda, izin usaha bisa dipersulit tanpa alasan jelas. Ada pula praktik memanfaatkan celah hukum, seperti Undang-Undang ITE, untuk menjerat kritikus dengan tuduhan pencemaran nama baik, demi menimbulkan efek jera dan ketakutan.
Di era digital ini, membungkam tak selalu berarti menghentikan orang bicara, melainkan menimbun suara itu di bawah  berita baik atau informasi yang tidak berguna. Tim humas pemerintah daerah bisa saja gencar menyebarkan informasi positif yang berlebihan, sementara isu-isu kritis disembunyikan rapat-rapat. Media lokal, juga di setir agar menyebarkan berita-berita pesanan dari pemerintah. Lalu, ketika kritik muncul, alih-alih dijawab dengan argumen, sang kritikus justru diserang balik dan dituduh sebagai buzzer, bayaran, provokator, atau punya motif tersembunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI