Mohon tunggu...
R Izzadth
R Izzadth Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Prioritas dalam hidup sangat penting, harus ada yang selalu dikorbankan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Eksistensi Ada

9 Maret 2015   21:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

*Oleh: Rohmatul Izad

Ketika yang Ada dirumuskan sebagai sesuatu yang dipahami oleh diri dan dalam dirinya sendiri memiliki eksistensi, maka ia menegaskan bahwa Ada tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Secara sadar ataupun tidak, Ada telah diandaikan sebagai sesuatu yang eksis tanpa sesuatu diluar dirinya, nilai abstraksi dalam interpretasi ini menegasikan tentang ketergantungan yang eksis terhadap yang tidak eksis. Jauh sebelum peradaban ini dimulai, Parmenides bertanya secara radikal tentang dapatkah kita mengetahui sesuatu yang tidak Ada. Dalam sudut pandang ini, Ada dipertentangkan dengan yang tidak ada. Lalu apa itu Ada?

Plato mengandaikan tentang Ada dalam teori idenya, ia menjelaskan bahwa seluruh realitas dan alam semesta telah ada padanannya dalam dunia Ide, lebih tepatnya semua jenis tentang yang ada di alam ini adalah sebuah tiruan dari dunia Ide. Dan Plato mengajarkan kepada kita tentang semua jenis yang ada memiliki formanya sendiri, forma adalah Ide sempurna, kekal dan azali. Ide sempurna itu barangkali adalah Tuhan semesta alam.

Banyak hal yang dapat ditemukan ketika mendefinisikan tentang yang Ada, namun ketika Ada dihadapkan dengan yang tidak Ada, maka ia menjadi fakta pemikiran yang alamiah dan mendasar dalam pengetahuan manusia, hingga ia tak lagi perlu dipertanyakan lagi. Ada bagi agama adalah Tuhan dan segala sesuatu yang terikat dengan Tuhan, dalam agama Ada dirumuskan sebagai Tuhan, hingga eksistensi diluar Tuhan menjadi ada yang tidak mutlak eksis. Bahwa yang ada sebagai tidak mutlak eksis pada akhirnya menjadi budak bagi yang Ada, tapi istilah budak merupakan ancaman bagi moralitas, maka ia secara terhormat dipahami secara relasional antara Pencipta dan ciptaan, memang begitulah adanya (bagi kita yang cukup mengerti tentang religiusitas).

Pada era baru di zaman pencerahan, Descartes menemukan fakta baru bahwa Ada adalah “aku berfikir”, kesadaran tentang Ada dirumuskan oleh diri Subyek yang berfikir, ini adalah substansi mendasar bagi kesadaran orang-orang Barat dalam memaknai tentang Ada. Descartes tentu saja telah melahirkan pendasaran baru bagi apa yang disebut Ada dalam dirinya sendiri sebagai fakta dalam kedirian manusia. “aku berfikir” menjadi instrumen yang revolusioner dalam panggung sejarah peradaban Barat, karena “aku” sebagai subyek yang berfikir memiliki kapasitas yang otonom dalam mendefinisikan sesuatu. Bahkan Tuhan tidak Ada dan tidak akan ditemukan keberadaannya ketika subyek “tidak berfikir”. Betapa eksisnya posisi subyek dalam mendominasi akar-akar kebenaran, diri dalam subyek yang sadar menjadi kata kunci dalam menemukan Ada, inilah fakta baru dalam peradaban modern tantang arti penting manusia dalam mengidentifikasi kebenaran, manusia menjadi tolak ukur bagi segala sesuatu, begitulah modernitas berpijak pada kesadaran Ada.

Jika dalam hal ini kita bersepakat tentang Ada adalah sebentuk kebenaran yang menjadi pegangan, pijakan dan arah bagi semua jenis keyakinan dan ideologi. Maka menjasi jelas bahwa manusia selalu memuja dan mengangankan tentang Ada dan merusak secara definitif tentang citra yang tidak ada dan menjadikan pemahaman akan hal itu terasa kabur. Sejauh ini gagasan tentang Adapun masih kabur dan tulisan ini justru akan semakin mengaburkan gagasan tentang Ada, dalam arti kita tidak benar-benar bisa memahami tentang Ada dalam eksistensinya yang murni dan otentik.

Ada sebagai yang Ada tentu saja tidak selalu menjadi apa adanya dalam pemahaman ini, ia begitu kompleks, tidak saja pemahaman kita kabur tentang hal itu, untuk masuk ke dunianya saja kita masih kebingungan menemukan caranya, apakah dengan agama, rasio, kebudayaan, politik, atau menentukan tentang yang Ada memalui sains yang prestisius itu, tentu saja sastra adalah hal lain tentang angan-angan yang tidak selalu kosong.

Paling tidak, kehidupan yang dijalani ini membutuhakan sejenis Ada sebagai pegangan. Jika pandangan tentang dunia hanya bisa dipahami dengan tolak ukur kemampuan yang terbatas ini, maka Ada-pun menjadi terbatas dalam ia menjadi Ada, karena begitulah cara dalam keterbatasan kita mengukur. Andai saja Tuhan turun tangan untuk semua yang ia kreasikan, maka tidak ada lagi semacam pertentangan antara Ada dan tidak ada, antara kebenaran dan ketidakbenaran, agama menjadi tidak penting, perbedaan menjadi sesuatu yang tidak akan ciptakan, atau paling tidak kita sebagai diri akan terasa utuh, seperti dalam dunia Ide Plato yang sempurna hingga tidak ada lagi istilah tiruan, atau Ada sebagai sebentuk kesadaran dalam diri yang berfikir seperti anggapan Descartes.

Lalu apa yang kita hasilkan dalam memahami tentang Ada? Jika tulisan ini saja sudah cukup, tentu saja tidak perlu ada pertentangan diantara kita. Tapi tidak seharusnya kita bersepakat dalam hal ini, kita tidak boleh sama dalam berfikir dan mengAda, begitulah kata kita yang memaknai, bila Nietzche mengutuk Ada dengan menolaknya dalam sebuah ungkapan “tidak Ada kebenaran, yang ada hanya interpretasi”, itu artinya Ada bukan benar-benar tidak ada. Tetapi interpretasi adalah gerbang sekaligus istana bagi kebenaran itu, Ada menjadi tidak eksis dalam kapasitas kemampuan manusia yang hanya bersifat interpretatif. Rumusan-rumusan ini tidak lagi mempertantangkan Ada dengan yang tidak ada, tetapi menjadikan ia sebagai fakta yang bertautan dalam diri yang memahami, karena kebenaran dan ketidakbenaran sudah sangat bercampur aduk, tidak perlu mempertentangkan keduanya. Yang benar suatu saat menjadi tidak benar, dan yang tidak benar akan selalu menjadi memori yang terefleksi dalam sejarah, lalu apa masalahnya jika hidup ini berjalan diantara keduanya.

Darah kita akan terlalu membusuk untuk kata-kata yang tidak lagi baru, mungkin bahasa mengatasi semuanya dalam “makna”, tetapi paling tidak maknalah yang menemukan manusia, bukan sebaliknya, jika saja “makna” itu diandaikan sebagai Ada, maka selesailah dan menjadi jelas bahwa hidup ini bukanlah sebuah pertentangan secara oposisif, tetapi sebuah pencarian dan penemuan, bukan mencari-cari dalam terminologi masa lalu.

Yogyakarta, 02 Desember 2014. Pm 23:38.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun