Mohon tunggu...
Iyan Mulyana
Iyan Mulyana Mohon Tunggu... -

Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kamu, Langitmu

27 Maret 2013   09:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:09 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kamu masih saja berbicara tentang langit kepadaku. Langit yang selalu kamu inginkan untuk digapai. Tapi kamu tentu saja tidak tahu apa yang ada di sana. Perlukah aku katakan padamu kalau langit yang kamu inginkan itu tak lebih dari ruang hampa yang bahkan mungkin tak bertepi ?
Tapi itu akan membuatmu sakit, dan aku tak suka kamu sakit.

"Hari ini aku mau pergi sama dia." Kamu berkata dengan tersenyum girang.
Dan aku hanya tersenyum kecil.
"Kamu kenapa ?" senyummu meredup.
"Tidak apa-apa." Dan aku lagi-lagi hanya tersenyum kecil.
"Bohong."
"Terus kamu mau aku kenapa ?"
Kamu pun diam. Aku pun diam. Dan dunia pun seolah diam.
---
Langitmu itu, kamu bilang berwarna biru. Aku bersumpah, sungguh, itu warna palsu ! Juga pelanginya, itu tak lebih dari biasan warna semu.

Saat itu, wajahmu tertutup awan kelabu. "Aku takut." Kamu mengatakan itu padaku.
"Apa yang kamu takutkan ?"
"Aku takut, aku tak terlalu pantas untuk dia."
"Kenapa ?"
"Aku cuma satu dari sekian banyak pengagumnya."
Ah, tentu saja banyak burung di langit.
"Menurutmu aku harus bagaimana ?"
Aku selalu meleleh ketika kamu menatapku seperti itu. "Aku akan coba membantumu." Dan kata-kata tolol itu mengalir begitu saja. Aku memang pecundang.
"Benarkah ?" wajahmu sekejap saja langsung berubah cerah, dan aku tak mengerti kenapa aku bisa ikut menyungging tawa. "Tentu saja."
Kamu pun melompat dan memeluk tubuh kakuku. "Terima kasih ya, kamu memang sahabat terbaikku !"
Ketika kamu mengatakan itu, belati tajam menacap tepat di jantungku.
"Ya, bukan masalah bagiku." Dustaku.
---
Aku tak mungkin lupa masa-masa kita dulu. Masa ketika kita tak punya masalah dengan dunia. Masih jelas sekali wajah konyolmu ketika kamu memberikan hadiah ulang tahun yang terlalu cepat sehari untukku. Atau ketika kita berdua tersesat saat mencari alamat.
Kadang aku ingin agar waktu tak berlalu, juga sesekali berharap agar kamu tak bertemu dengan langitmu. Sejujurnya, aku rindu semua itu.
---
Sekarang, di dalam balutan selimut kabut senja, dan dibawah guyuran rintik hujan yang menggemeletukan gigi, kita berdua berdiam di bawah kanopi.
"Kalau hujan begini, aku jadi ingat dulu." Itu katamu. "Dulu kalau pulang sekolah kehujanan kita suka berteduh di sini."
Tentu saja aku ingat, tak sedetik pun kenangan tentangmu akan hilang dari memoriku. "Ya, benar." Itu jawabku.
Lalu kamu merebahkan kepalamu di bahuku, dan rambut panjangmu menggerai di punggungku. "Sudah lama ya, kita tidak menghabiskan waktu berdua." Seperti dulu, suaramu tetap terdengar merdu. "Rasanya seperti dulu ya ?"
Tentu saja tidak sama, sekarang kamu sudah bersama dengan langitmu, dan semua tak lagi sama. "Ya, sama." Lagi-lagi aku berdusta. Tapi untuk duduk berdua denganmu, dan membelai rambutmu, sudah lebih dari cukup bagi pecundang sepertiku.
---
Sekarang kamu masih terbang di langitmu, tapi kapanpun kamu terjatuh aku selalu berdiri di sini untuk menangkapmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun