Gelombang demo besar-besaran pada Agustus 2025 bukanlah sekadar letupan spontan dari keresahan rakyat. Ia adalah akumulasi dari tahun-tahun panjang kekecewaan, represi, dan kecurigaan publik terhadap kepemimpinan era Joko Widodo. Jalanan yang dipenuhi teriakan mahasiswa, buruh, hingga rakyat biasa, menyuarakan bukan hanya tuntutan politik, tetapi juga kemarahan terhadap apa yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi.
    Pertanyaannya: mengapa semua ini seakan bermuara pada sosok Jokowi, bahkan setelah tampuk kekuasaan beralih ke Prabowo? Jawabannya terletak pada jejak panjang kepemimpinan yang ia tinggalkan---jejak yang dipenuhi kontradiksi, janji-janji manis yang berubah getir, serta manuver politik yang menyisakan luka.
  Era Jokowi awalnya dipandang sebagai harapan baru: pemimpin dari rakyat biasa, sederhana, dan diyakini mampu memutus rantai oligarki. Namun perjalanan kekuasaan perlahan menunjukkan wajah lain: kompromi dengan elit politik, kebijakan yang kontroversial, hingga lahirnya regulasi yang dianggap lebih berpihak pada modal besar ketimbang rakyat.
  Kasus-kasus yang tak pernah benar-benar diselesaikan---mulai dari konflik agraria, kriminalisasi aktivis, hingga aroma korupsi di lingkaran kekuasaan---membuat publik menaruh curiga. Muncul persepsi bahwa Jokowi lebih sibuk menjaga stabilitas politik demi warisan kekuasaan ketimbang memberi ruang bagi keadilan.
   Yang membuat kekecewaan itu semakin membesar adalah kemunculan anaknya di panggung politik. Publik menilai, langkah ini bukan sekadar kebetulan, melainkan strategi politik untuk menjadikan sang anak sebagai perisai. Seolah dengan menempatkan Gibran di barisan depan, Jokowi bisa meredam serangan, menyamarkan kebusukan yang kian menguar, dan menyiapkan "jalan aman" dari segala tuntutan.
   Maka ketika demo Agustus 2025 pecah, isu ini kembali menguat: benarkah semua kegaduhan ini berakar dari ketakutan Jokowi bahwa kebusukan kekuasaannya akan terbongkar, sehingga anaknya dijadikan tameng? Banyak orang percaya, bahwa di balik senyum sederhana yang selama ini dijual, ada kecemasan besar tentang bagaimana sejarah akan menulis namanya.
   Agustus 2025 menjadi pengingat keras bahwa rakyat tidak pernah benar-benar tidur. Rezim bisa mencoba mengaburkan kebenaran, mengontrol narasi, bahkan membungkam suara. Namun, rasa marah dan kecewa yang menumpuk akan selalu menemukan jalannya.
  Jika benar Jokowi menempatkan anaknya sebagai tameng, maka sejarah akan menilainya bukan sebagai bapak bangsa, melainkan sebagai bapak yang tega menyeret keluarganya ke dalam pusaran konflik politik demi menyelamatkan diri. Dan warisan itu, suka tidak suka, akan lebih sulit dihapus dibandingkan pembangunan fisik yang selama ini ia banggakan.
   Pada akhirnya, demo Agustus 2025 bukan sekadar protes. Ia adalah perlawanan simbolik terhadap pola kepemimpinan yang menolak akuntabilitas, yang membungkus ketakutan dengan wajah kekeluargaan, dan yang berusaha menundukkan rakyat dengan retorika kosong.
   Sejarah selalu berpihak pada yang berani berkata jujur. Dan rakyat, sebagaimana terlihat di jalanan bulan Agustus itu, sudah memilih jalannya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI