Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teroriskah Ustad Somad

24 Desember 2017   11:19 Diperbarui: 27 Desember 2017   21:40 2160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kejadian ini mengingatkan saya  lagi-lagi soal framing media. Acap saya katakan jurnalisme malah mati ketika reformasi. Pondasi ilmu komunikasi dasar yakni hati nurani, akal, budi seakan dilupakan. Code of conduct dalam jurnalisme dikubur. Maka saya menjadi teringat akan reportase  mantan Redaktur Senior TEMPO, Alm. Budiman S. Hartoyo. Pensiun dari Tempo, ia pernah menulis untuk Majalah PANTAU. Tulisan literairnya tentang Pesantren Almukmin, Ngruki dan Ustad Abubakar Baasyir dipertanyakan beberapa kawan wartawan. Ada yang bertanya, "Kok enggakketemu teroris di sana?"

Saya masih ingat Budiman menjawab, "Emang wartawan itu penyidik?"

"Wartawan itu verifikasi, reportase." suara Budiman meninggi.

Budiman sebelum menjadi wartawan TEMPO adalah penyair, pernah menjadi penyiar Radio era silam di Solo. Tulisannya lebih dari 3.000 kata tentang Pesantren Ngruki, diberinya judul Tiga Malam di Sarang Teroris, dapat disimak di https://pantau.or.id/?%2F/=d%2F187 , bisa di search di google dengan  judul sama.

Tulisan itu acap saya baca ulang karena indah lema literair penyajiannya. Diksi maupun deskripsi  enak dibaca. Tulisan berlanggam muatan The NewYorker.  Kendati judulnya "nyeleneh"  reportase itu tentulah jauh dari apa  ditudingkan orang sebagai teroris.  Hingga Ustad Baasyir kini renta di penjara, Pesantren Ngruki berjalan mendidik agama. Seingat saya belum ada teroris lahir dari sana.

Framing dalam kehidupan media kita, telah membuat segala sesuatu acap bias. Kehadiran Ustad Somad di Bali, dipersekusi, tentu beritanya sampai ke luar negri tak terkecuali Hongkong. 

Dari satu orang menyampaikan pesan ke orang lain saja bisa berubah, di tengah beberapa belahan negara tak dipungkiri fobia terhadap Islam. Kenyataan itu   menambah kesemrawutan opini terhadap seseorang. Di tengah hati nurani umat Muslim Indonesia terganjal ihwal penistaan agama, kecurigaan kepada penceramah dan para ustad seakan tajam dengan imbalan tahanan, berlanjut ke isu LGBT seakan diberi tempat dan terkini Ustad Somad diusir dari Hongkong, solusinya, bagi saya dengan latar belakang studi komunikasi massa, adalah mengembalikan kitah jurnalisme kepada kaedah dasarnya: tidak membuat framing.

Belajarlah  kepada senior, seperti ke  Alm Budiman S. Hartoyo.  Dulu  era 80-an, reporter baru di TEMPO digojlok dua tahun mereportase, hanya untuk belajar, belum untuk dikutip. Kini wartawan dan media instan berarakan, dan ikut latah terjerembab urusan fulus mulus.

Di tengah keadaan bagalepak-peak, opini dunia menggiring kebencian kepada Islam, sudah seharusnya negara bersikap tanggap, sehingga ada "roso" keinsanan dan berkeindonesiaan berpancasila. Wajar dong, laksana kepada mantan Panglima TNI tempo hari sempat terjegal ke Amerika Serikat, negara membuat surat pernyataan tidak menerima. Menlu tak boleh diam. Karena Ustad Somad bukanlah teroris. Itu baru chengli

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun