Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dengan Kelembutan, Kita Semua adalah Guru

25 November 2018   22:13 Diperbarui: 25 November 2018   22:26 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (koleksi pribadi)

 A good teacher can inspire hope, ignite the imagination, and instill a love of learning  -Brad Henry

Seorang anak belajar banyak dari dari ayah ibunya di rumah.  Adik minta diajari bersepeda dari kakaknya.  Paman mengenalkan ketrampilan beternak kepada keponakannya.  Bibi mengajari bertanam dan berkebun kepada keponakannya.  Anak dan keponakan saling belajar mengaji kepada kakeknya.

Itu semua adalah contoh saling belajar di dalam keluarga.  Seseorang dapat memberi pengetahuan, menginspirasi, dan mengajarkan ilmu atau ketrampilan kepada lainnya.  Semua sedang mengalami proses pembelajaran, saling mengajari dan belajar.  Dalam keluarga tersebut lahir sosok guru, yang dianggap tahu, menginspirasi dan dihormati.

Sosok guru juga ada di kehidupan lain, khususnya di sekolah, pesantren atau kampus.  Siapa saja yang menjadi pendidik atau pengajar adalah guru.  Mereka memang menjalankan fungsi secara formal sebagai guru, meski sebutan namanya bisa dosen, ustadz, tutor, pembimbing, pengasuh atau pendamping.

Masih ada lagi guru di tempat lain, yang  memberi peran mendidik atau menginspirasi di dalam kehidupan masyarakat, di kantor atau lingkungan lainnya.  Sosok guru itu mampu menjadi teladan dan menginspirasi karena punya kelebihan dalam pengalaman, kearifan, kelembutan, inisiatif, kedermawanan, kerendahan hati, ketrampilan, atau kebaikan lainnya.  Sosok itu bisa melekat pada profil seorang ketua RT, tetangga, pak Lurah, atasan, bawahan, pedagang, office boy, loper koran, atau petugas kebersihan.

Para sosok guru itu mampu menginspirasi, memberi kesan yang positif dan produktif, disertai keikhlasan dan kerendahan hati.  Misal seorang petugas pengangkut sampah yang bekerja disiplin, tepat waktu, cermat, rapi, dan bersih.  Ia dapat menjadi guru bagi siapa saja perihal tanggungjawab menyelesaikan tugas dengan baik, dan memberi kenyamanan dan manfaat bagi banyak orang.

Saya sendiri sering menemukan sosok atau pribadi yang pantas menjadi guru, meski ia orang-orang biasa saja.  Saya tidak segan untuk mendekati orang-orang seperti ini untuk memperoleh nilai-nilai kehidupan.  Saya bisa berlama-lama dengan mereka untuk sekedar mengamati bagaimana bekerja, mendengar pendapatnya, bahkan saya bisa memperoleh tip ketrampilan yang dikuasainya (lihat 1, 2, 3, 4).

Sebaliknya saya juga menemukan seseorang guru, yang berprofesi formal sebagai guru, tetapi tidak menginspirasi bagi orang lain.  Guru yang tidak sungguh-sungguh mendidik, tidak sabar, pemarah, atau  tidak menjalankan tugas sepenuh hati.  Guru lebih mementingkan dirinya sendiri, ingin dilayani muridnya, mengeksploitasi muridnya, tidak memberi teladan yang positif bagi muridnya.  Mahasiswa atau siswanya lebih banyak dikecewakan oleh ulah guru.  Guru-guru seperti ini tidak akan mendapat tempat di hati murid-muridnya.

Ilustrasi: infosekolah87.com
Ilustrasi: infosekolah87.com
 Kemajuan teknologi informasi sekarang ini, sebenarnya memberi ruang lebih luas bagi lahirnya sosok guru.  Dunia sharing dan caring sebenarnya adalah ruang lingkup pembelajaran, sekaligus dunianya para guru.  

Kompetensi guru berupa ilmu, pengetahuan, penguasaan teknologi, ketrampilan dan seni adalah modal untuk pencerahan kepada peserta didik, atau masyarakat.  Dengan kelembutan, kerendahaan hati dan pengendalian diri yang kuat, guru dapat share dan care perihal yang positif dan produktif untuk kemaslahatan umat.

Tapi sayangnya, harapan itu belum sepenuhnya terealisasi.  Sharing and caring dalam media sosial berbalik menjadi saling serang (fighting) dan benci (hating).  Ironisnya itu juga dilakukan oleh sosok-sosok guru, dosen atau ustadz.  Di media, mereka suka marah, suka mengkafirkan, menyebar kebencian, menyebar berita bohong, memprovokasi dan memecah belah.  Sedih sekali melihat ini.

Sosok guru perlu dikembalikan ke tempatnya.  Guru wajib menguasai ilmu-ilmu disertai akhlak, agar ia mampu menempatkan diri dan fungsinya dengan baik.  Guru sebelum mengajar kepada orang lain harus mengajar dirinya sendiri, sehingga apa yang akan diajarkan telah "dilakoni" dulu.  Guru yang memberi nasehat keihlasan maka ia harus ikhlas lebih dulu.  Guru yang mengajarkan kelembutan maka ia adalah memang sosok yang lembut.

Selamat Hari Guru

Malang, 25 Nopember 2018

Buku yang sudah diterbitkan:

  • Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
  • Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2 
  • Iwan Nugroho. 2013. Budaya Akademik Dosen Profesional. Era Adicitra Intermedia, Solo. 169p. ISBN 978-979-8340-26-0
  • Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1 
  • Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
  • Iwan Nugroho. 2018. Menulis, Membangun kekuatan dan motivasi kehidupan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 155p. ISBN 9786022299271

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun