Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Alimuddin
Muhammad Ridwan Alimuddin Mohon Tunggu... -

Kuliah di UGM 1997-2006, menulis buku "Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?" (Ombak 2004), "Orang Mandar Orang Laut" (KPG 2005), "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara" (Ombak 2009), "Mandar Nol Kilometer" (Koran Mandar, 2011)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kamus dan Bahasa Mandar (2)

17 Mei 2011   20:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:32 5067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Meski digolongkan sebagai kamus bahasa daerah, penyusunan lema-lema dalam kamus tidaklah kaku. Seperti bahasa-bahasa lain, Bahasa Mandar pun banyak menyerap, meminjam atau mengadopsi bahasa lain. Jadi, di masa mendatang lema atau kosakata Bahasa Mandar akan semakin kaya. Di sisi lain, ada beberapa kata, mungkin karena sulit diucapkan atau jarang digunakan, menjadi hilang. Biasanya, tingkat penggunaan bahasa Mandar beda, misalnya di Tinambung dengan kampung di Ulumanda’.
Waktu saya kecil sampai tahun kedua di perguruan tinggi, setahu saya, bahasa (di) Mandar hanya satu: bahasa Mandar. Hingga kemudian saya membaca buku (semacam jurnal penelitian bahasa) tentang bahasa-bahasadi Sulawesi Selatan. Hingga hari ini, buku itu saya golongkan sebagai sekian buku-buku penting.
Bukunya saya kopi. Sebenarnya cukup tebal, tapi saya hanya kopi bagian tertentu. Lampirannya tidak. Bukunya berjudul “Languanges of South Sulawesi”. Ditulis oleh Charles E. Grimes dan Barbara D. Grimes. Masuk dalam seri terbitan Pacific Linguistc Seri D-No. 78 (Materials in Languanges Indonesia, No. 38).
Saya sebut buku penting sebab buku ini menjadi semacam panduan utama untuk “membantah”pemahaman saya selama ini bahwa hanya ada satu bahasa Mandar. Kasarnya, berdasarkan buku ini, dengan berpatok pada alasan ilmiah, sebenarnya Mandar secara budaya tidaklah sama Mandar secara politik! Untuk memudahkan pemahaman, singkatnya, ada beberapa suku di Mandar bila berdasarkan perbedaan bahasa!
Maksudnya? Mandar secara politik adalah dari Paku hingga Suremana, tapi secara budaya hanya mencakup sebagian besar Kabupaten Majene dan sebagian Kabupaten Polewali Mandar.
Dasarnya apa? Dasarnya adalah penggunaan bahasa! Dalam dunia antropologi, bahasa merupakan penanda utama sebuah suku. Jadi bukan hal yang salah bila orang Mamuju tidak menyebut diri mereka sebagai orang Mandar sebab orang Mamuju sendiri memiliki bahasa (dan unsur budaya lain) tersendiri, meski ada beberapa yang sama. Sebagaimana orang Mandar tidak mau disebut orang Bugis; orang Bugis tidak mau disebut orang Jawa, dan seterusnya.
Nah, di dalam buku Languanges of South Sulawesi terdapat hasil penelitian yang menyebutkan bahwa setidaknya ada sebelas bahasa di kawasan Mandar secara politik (bisa juga dibaca: Sulawesi Barat), sebagaimana yang saya tuliskan di atas (Northern South Sulawesi Family). Bahasa-bahasa di atas tidak sama teritorial atau geografisnya dengan pembatasan administrasi pemerintahan dewasa ini. Misalnya bahasa Toraja Sa'dan yang digunakan oleh penduduk Mamasa yang notabene bukanwilayah/penduduk Kabupaten Toraja (Sulawesi Selatan).
Khusus bahasa-bahasa yang terdapat di pesisir dan sebagian ke arah pedalaman, Bahasa Mandar terbagi beberapa dialek, yaitu dielek Balanipa, Majene, Pamboang, Sendana, Awo' Samakuyu, dan Malunda. Inilah alasan beberapa istilah Mandar berbeda satu sama lain padahal sama-sama Mandar. Sebagai contoh penyebutan bahasa Mandar-nya rumah: di Balanipa (yang mencakup kecamatan Tinambung, Limboro, Balanipa, Alu dan sekitarnya) disebut “boyang”, sedang di Majene disebut “sapo”.
Bahasa Mamuju juga terbagi-bagi dalam beberapa dialek, yaitu: dialek Mamuju, Sumare, Rangas, Padang, Sinyonyoi, Sondoang, Budong-budong, Tappalang, dan Botteng; Pitu Ulunna Salu terbagi atas: Aralle-Tabulahan, Mambi, Rantebulahan, Bambang, Mehala'an, Tapango, dan Ulunda (menariknya, tidak ada sebutan untuk bahasa Mamasa!); dan Pattae': Binuang, Paku, Batetanga, dan Anreapi.
Lalu bagaimana hubungan bahasa Mandar (sebagai etnis terbesar di Sulawesi Barat) dengan bahasa-bahasa lain yang dimiliki oleh tiga suku besar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan Toraja)?
Ada pengacauan yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Sulawesi Selatan yang selama ini cukup disegani, yaitu Mattulada dan Hamid Abdullah, yaitu pengistilahan Bugis-Makassar. Istilah yang akhirnya kita anggap sebagai satu entitas utuh. Sebenarnya tidak, sebab dari segi bahasa, bahasa Bugis banyak bedanya dengan bahasa Makassar. Malah yang banyak sama antara bahasa Bugis dengan Toraja atau Bugis dengan Mandar. Mungkin karena adanya kesamaan kepercayaan (Islam) sehingga perbedaan tertutupi. Juga tentunya alasan politis.
Saya pribadi bukan seorang poliglot (menguasai lebih satu bahasa), tapi kalau mendengar percakapan yang berbahasa Bugis atau Toraja, saya bisa paham sedikit. Beda bila mendengar bahasa Makassar. Tentunya karena ada banyak kesamaan antara Bugis dan Toraja dengan bahasa Mandar.
Buku yang saya sebutkan di awal tulisan ini memuat tingkat (persentase) kemiripan 40-an bahasa yang ada di Sulawesi Selatan. Cukup menarik sebab masing-masing ada hubungan. Sayangnya, tulisan ini tak cukup ruang untuk membahas satu persatu kesamaan dan perbedaannya. Misalnya bahasa Balanipa dengan Kalumpang (tingkat kemiripan: 60), Balanipa dengan Pattae'-Binuang (tingkat kemiripan: 67), Balanipa dengan Topoyo (tingkat kemiripan: 40), dan lain-lain.
Menyesal, sebab saya tidak mengkopi lampiran buku ini sehingga saya tidak bisa menuliskan istilah atau kata utama yang digunakan dalam riset bahasa. Kalau tidak salah ingat beberapa istilah/bahasa yang dibandingkan kesamaan-perbedaannya. Berdasar bahasa (sampel) tersebut, dapat dibuat pengelompokan bahasa. Penentuan istilah tentu tidak sembarangan. Ada istilah-istilah tertentu yang diyakini bahwa istilah tersebut sangat kuno. Misalnya istilah “api” dan “lima” (tangan) yang hampir sama di banyak bahasa di Nusantara. Adapun istilah seperti “ka'dera” (kursi) yang kedengaran seperti bahasa Mandar tidak bisa sebab sejatinya istilah tersebut berasal dari bahasa Portugis! Nanti saya bahas tentang hal ini di bagian akhir tulisan.
Menurut riset Grimes, untuk bahasa Mandar, kurang lebih 250.000 orang penuturnya (pada saat riset dilakukan, tahun 1982). Jika memang demikian, yang tentu tidak jauh beda saat ini, bisa dikatakan bahasa Mandar dapat digolongkan sebagai bahasa yang terancam punah. Ada teori yang mengatakan, yang kira-kira bunyinya, jika suatu bahasa jumlah penuturnya kurang satu juta, maka bahasa tersebut tidak lama lagi akan punah.
Realitas jumlah penutur bahasa Mandar yang semakin berkurang (meski secara kuantitaf bertambah, tapi dari segi kualitas berkurang sebab semakin banyaknya penyerapan istilah di luar bahasa Mandar) terpampang jelas di hadapan kita.
Terhadap generasi di bawah kita, kita selalu lebih mengutamakan bahasa Indonesia. Ada beberapa alasan. Ada yang mengatakan supaya anaknya mudah dan cepat berbahasa Indonesia sehingga gampang bergaul di masa mendatang. Ada juga yang beralasan: supaya gaya.
Ada banyak cara yang sengaja atau tidak sengaja membantu usaha pemusnahan bahasa Mandar. Hal jamak, seorang yang baru beberapa bulan, misalnya ke Malaysia, baliknya mereka sepertinya tak bisa berbahasa Mandar! Lalu dalam komunikasi sehari, misalnya saat SMS-san, selalu dipakai bahasa Indonesia. Belum lagi di sekolah atau di kantor-kantor.
Di tengah degradasi bahasa daerah kita, ada segelintir orang yang berusaha untuk melestarikan penggunaan bahasa Mandar. Misalnya dua bersaudara: Bakri Latief dan Bustami Latief. Yang pertama, beberapa tahun belakangan ini menyusun buku yang isinya nama orang yang menggunakan bahasa Mandar. Adapun adiknya, setiap berkhotbah, selalu menggunakan bahasa Mandar untuk kemudian dia membuat naskah khotbah shalat Jumat. Harapannya, suatu saat naskah itu akan menjadi buku. Suatu usaha yang patut kita teladani, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk lain, misalnya menulis karya sastra dalam bahasa Mandar, membuat kamus Mandar dalam bentuk digital, dan lain sebagainya. Namun yang paling penting adalah praktek penggunaan bahasa Mandar itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Ini Bukan Bahasa Mandar
Bahasa Mandar banyak menyerap atau meminjam bahasa daerah/asing lain. Ya, penyebutannya seolah-olah Mandar, tapi sejatinya bukan asli bahasa Mandar.Berikut contohnya: sapeda (velocipeda, Prancis), pasar (bazar, Persia), majalla (majalla, Arab), bangkrut (bancoratto, Itali), toko (to ko, Tionghoa), buku (boek, Belanda), kitta' (kitab, Arab), meja (meza, Portugis), kappung (campo, Portugis), garattas (carzas,Portugis), anakoda (nakhoda, Persia), sapatu (sepat, Spanyol), bandera (bandera, Spanyol), poloiq (flute, Inggris), pelor (pelor, Portugis), lamari (lemari, Portugis), kameja, basa (bahasa, dari Bahasa Sansekerta, “bhasa”), polopeng (vulpen, Belanda), tekeng (tandatangan, dari kata “teken” dalam Bahasa Belanda), cambo’ (Persia), kapala (cupola, Italia), gorilla (guerille, Prancis), kollang (Tamil), patti (Tamil), kappal (Tamil), pare (padai, Campa), mate (matai, Campa), la’bi (labeh, Campa), apa (afei, Campa).
Sebab Mandar juga termasuk Bangsa Austronesia, ada beberapa bahasa Mandar yang penulisan atau pengucapannya mirip atau sama oleh suku-suku lain. Contoh kata-kata yang merupakan Bahasa Austronesia adalah tuba (toba), padi (pare), gurita (gurita), udang (urang), pari (jenis ikan), penyu (panynyu), nyamuk (anamoq). Yang juga menarik, dayung dalam bahasa Mandar disebut “bose”, di Filipina dan Madagaskar “base” dan “bosei”. Apakah kebetulan atau tidak?
Buku sangat menarik yang membahasa tentang bahasa-bahasa asing dalam bahasa Indonesia pernah diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia. Judulnya, “9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing”. Penulisnya seorang aktor dengan banyak nama: Alif Danya Munsyi, Dova Zila, Yapi Tambayong. Dia lebih dikenal dengan nama Remy Silado.
Jadi, kita pun harus hati-hati untuk menyebut bahwa istilah tertentu adalah asli bahasa Mandar! Mandar dan bahasa-bahasa lain di Nusantara banyak menyerap, mengadopsi, meminjam bahasa lain. Tapi kita tak perlu berkecil hati, ada beberapa kata yang “indigen” di Mandar, tinggal perlu riset mendalam untuk mencari tahu kata apa saja itu.
Sekali lagi, tak perlu berkecil hati, soalnya ada juga kata Bahasa Mandar yang menjadi bahasa nasional. Yaitu “rumpon”. Dari beberapa penelitian ilmiah, alat bantu penangkapan ikan tersebut berasal dari Mandar. Di Mandar sendiri rumpon disebut “roppong” atau “roppo”.
Oh iya, ada juga kata yang saya belum tahu/belum temukan padanannya dalam Bahasa Indonesia, yaitu “ussul”. Defenisi “ussul” adalah praktek penyimbolan, adanya harapan bahwa penyimbolan yang dilakukan akan seperti keinginan, cita-cita, atau harapannya”. Praktek demikian bukan hanya Mandar yang melakukan, tapi suku-suku di belahan dunia lain. Tapi istilah Indonesia dan Inggris-nya apa?
Penutup
Sebagai orang Mandar, kita harus bersyukur dengan adanya kamus Bahasa Mandar – Indonesia. Kamus dalam bentuk cetak (atau dalam bentuk digital) akan menjadi dokumentasi abadi akan Bahasa Mandar. Jadi, walaupun suatu saat nanti Bahasa Mandar punah, arsip kata-kata Mandar akan tetap ada walau itu tak lagi terucap dari mulut manusia; walau hanya ditemukan dalam buku atau layar monitor komputer. Kamus juga bisa dijadikan sebagai penanda akan peradaban suatu bangsa, dalam hal ini Bangsa Mandar.
Secara praktis, dalam kehidupan sehari-hari, saat ini, kamus Mandar – Indonesia digunakan sebagai referensi untuk mencari kata atau makna suatu kata, cara penulisannya, dan cara pengucapannya. Bahasa Mandar dan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Selatan memiliki beberapa kekhasan. Ada beberapa kata berbeda pengucapan dan cara penulisannya, misalnya antara “kaluwambang” dengan “kalubambang”. Bukan hanya itu, di dalam kamus pun terdapat aturan-aturan penulisan yang bisa dijadikan dasar atau standar seorang penulis bila menuliskan suatu kata atau bahasa Mandar dalam sebuah tulisan. Sederhananya, ada pedoman atau panduan.Bahasa adalah penanda paling penting akan sebuah suku bangsa. Akan menjadi ironi bila (suku bangsa) Mandar tak memiliki generasi yang ahli dalam Bahasa Mandar. Setahu saya, ahli-ahli Bahasa Mandar (yang betul-betul mempelajari bahasa atau sastra di dunia akademik atau perguruan tinggi untuk kemudian menjadi peneliti bahasa daerah) yang ada saat ini semuanya sudah tua. Hanya dua yang saya tahu, Abdul Muthalib (lahir di Campalagian, 17 Juli 1937), penulis Kamus Bahasa Mandar – Indonesia; dan Suradi Yasil, penulis Ensiklopedi Sejarah, Tokoh dan Kebudayaan Mandar (lahir di Limboro, 11 Mei 1945).
Bagaimana pun, para ahli atau peneliti adalah salah satu bagian paling penting dalam “benteng pertahanan” Bahasa Mandar, agar tidak cepat mengalami kepunahan. Peran mereka juga diperlukan sebagai tempat bertanya bila ada permasalahan atau perdebatan mengenai kata-bahasa Mandar. Sebab mereka tentunya mempunyai alasan ilmiah dan telah banyak membaca pustaka-pustaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun