Di Hari Kesaktian Pancasila 2025, Kita Berhutang Pada Dua Pemuda Muhammadiyah yang Gugur untuk Tegaknya Kembali PancasilaÂ
Setiap kali kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila, narasi yang muncul selalu tentang tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya. Nama-nama jenderal dan perwira itu layak dikenang. Namun, di balik layar peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, tersimpan kisah heroik yang sengaja dibiarkan meredup, sebuah kisah tentang darah segar kader muda Muhammadiyah yang menjadi pupuk penyubur bagi tegaknya kembali Pancasila.
Mereka adalah Aris Munandar dan Margono. Dua nama yang hampir tak terdengar dalam buku pelajaran sekolah, dua bintang dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang padam terlalu cepat. Inilah cerita yang harus viral, karena tanpa pengorbanan mereka, mungkin kita tak bisa merasakan napas kebebasan dari cengkeraman ideologi anti-Tuhan.
Lanskap Pengkhianatan dan Vacuum of Power
Bayangkan Indonesia pasca-G30S/PKI. Sebuah nation in shock. Mayat para jenderal ditemukan dalam sumur lubang buaya, sementara pemerintahan Soekarno goyah dan tak mampu mengendalikan situasi. Dalam vacuum of power yang mencekam itu, kekuatan PKI mungkin telah dipukul mundur, tetapi ancaman terhadap Pancasila dan agama masih nyata.
Di tengah kegelapan itulah, Muhammadiyah bangkit bukan hanya dengan suara, tetapi dengan aksi. Dan di barisan terdepan, berdiri para pemudanya, generasi IPM dan Pemuda Muhammadiyah yang idealis dan berani mati. Mereka tahu, perjuangan tak cukup dengan diskusi dan tulisan. Saat itu, jalanan adalah medan pertempuran sesungguhnya.
Aris Munandar: Sang Orator Muda yang Gugur di Medan Aksi
Aris Munandar bukanlah pemuda biasa. Ia adalah produk unggulan kaderisasi IPM, cerminan seorang intelektual muda yang paham betul bahwa komunis adalah antitesis dari Pancasila dan Islam. Dengan semangat membara, ia turun ke jalan, menjadi penggerak aksi-aksi mahasiswa dan pemuda yang menuntut Tritura.
Bagi Aris, tuntutan pembubaran PKI dan pembersihan kabinet bukanlah sekadar yel-yel politik. Itu adalah panggilan iman. Setiap kali ia berorasi, suaranya menggema mengobarkan semangat ratusan bahkan ribuan pemuda untuk tetap berdiri menekan rezim yang mulai limbung.
Tragedi pun menghampiri. Dalam sebuah aksi yang berujung ricuh, nyawa Aris Munandar melayang sebagai tumbal. Ia gugur bukan sebagai penonton, tetapi sebagai aktor utama dalam drama besar perubahan bangsa. Darahnya yang masih panas menjadi saksi bisu betapa mahal harga yang harus dibayar untuk mengusir kekuatan anti-Pancasila dari bumi Indonesia.
Margono: Prajurit Jalanan yang Tak Gentar Menghadang Maut
Sementara Aris Munandar bersuara lantang di mimbar, Margono memilih bentuk perlawanan yang lebih fisik. Sebagai kader IPM yang tergabung dalam KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), ia adalah tulang punggung pengamanan di lapangan.
Tugas Margono berat. Ia harus memastikan aset-aset Muhammadiyah aman dari pembalasan dendam, mengorganisir barisan pemuda untuk aksi massa, dan menjadi benteng pertahanan di garis depan. Setiap hari, ia bergumul dengan ketakutan dan ancaman nyawa.
Takdir berkata lain. Dalam sebuah insiden berdarah di tengah gejolak politik, Margono gugur dengan cara yang heroik. Ia jatuh di medan laga, menjadi martir bagi tegaknya Pancasila. Kematiannya adalah bukti bahwa perjuangan menumbangkan rezim lama tak hanya butuh kata-kata, tetapi juga pengorbanan jiwa dan raga.