Tuntutan rakyat untuk mencegah PHK massal dan melindungi buruh kontrak bukanlah sekadar teriakan di tengah riuh rendah politik. Ia adalah sebuah diagnosis---sebuah gejala dari kerapuhan fundamental dalam kontrak sosial ketenagakerjaan kita.Â
Meresponsnya tak cukup dengan kebijakan tambal sulam yang bersifat reaktif. Negara, baik dalam wajah eksekutif maupun legislatif, dipanggil untuk memainkan peran yang lebih dari sekadar pemadam kebakaran; ia harus menjadi dokter yang menstabilkan, sekaligus arsitek yang merancang ulang sebuah bangunan yang fondasinya telah lama retak.Â
Peta jalan respons ini harus terbentang dalam tiga babak: aksi penyelamatan di ruang gawat darurat, intervensi medis di ruang perawatan, dan perancangan ulang sistem kesehatan jangka panjang.
Babak pertama adalah respons di ruang gawat darurat. Ketika pendarahan terjadi, prioritas utama adalah menghentikannya.Â
Di sinilah kecepatan dan ketepatan menjadi krusial, menargetkan aksi dalam enam bulan ke depan. Di pundak pemerintah, tanggung jawab ini mewujud dalam aktivasi program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang lebih cerdas---kita sebut saja "BSU 2.0".Â
Kegagalan masa lalu dalam akurasi data harus menjadi pelajaran; BSU kali ini wajib dieksekusi dengan basis data tunggal yang solid, memastikan bantuan ini sampai tepat di nadi para pekerja di sektor paling rentan.Â
Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mendirikan "Meja Krisis Ketenagakerjaan", sebuah forum mediasi wajib bagi perusahaan yang berencana melakukan PHK dalam skala signifikan.Â
Ini bukan soal birokrasi, melainkan upaya mencari alternatif yang lebih manusiawi sebelum vonis PHK dijatuhkan. Sementara itu, panggung legislatif di Senayan tidak boleh hanya menjadi penonton pasif.Â
DPR harus segera menggunakan palu pengawasannya, menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum secara maraton yang mempertemukan semua pihak di bawah sorotan publik. Inilah cara paling efektif untuk menuntut akuntabilitas dan memastikan pemerintah tidak berjalan sendirian dalam gelap.
Setelah pasien stabil dan pendarahan berhenti, kita memasuki babak kedua: intervensi kebijakan di ruang perawatan. Fase yang membentang hingga 18 bulan ke depan ini adalah tentang penyembuhan dan penguatan.Â
Fokusnya bergeser dari sekadar bertahan hidup menjadi membangun kembali daya tahan. Di sini, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang ada harus ditransformasi secara radikal. JKP tak boleh lagi sekadar menjadi "uang kaget" sementara, melainkan sebuah "jembatan karier". Setiap rupiah yang diterima harus terkait dengan kewajiban dan fasilitas untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan yang relevan dengan pasar kerja masa depan.Â
Pada saat yang sama, pemerintah perlu merancang insentif fiskal yang cerdas, memberikan penghargaan berupa potongan pajak signifikan bagi perusahaan yang berinvestasi pada tenaga kerja permanen.Â
Di sisi legislatif, inilah saatnya DPR meningkatkan perannya dari sekadar pengawas menjadi penyelidik melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Perburuhan. Pansus ini memiliki taring untuk membongkar akar masalah secara sistemik dan mengevaluasi dampak nyata dari regulasi yang ada, terutama UU Cipta Kerja.Â
Lebih dari itu, DPR harus menggunakan senjata pamungkasnya, yakni fungsi anggaran, untuk "mengunci" alokasi dana bagi program-program pro-pekerja, menjadikannya alat tawar politik yang kuat untuk mendorong reformasi.
Namun, semua tindakan itu pada akhirnya hanya akan menyembuhkan luka lama. Babak ketiga, dan yang paling menentukan, adalah keberanian untuk membangun arsitektur baru.Â
Ini adalah tentang visi jangka panjang, sebuah lompatan pemikiran untuk keluar dari siklus krisis yang terus berulang. Gagasan konvensional harus kita tinggalkan. Bayangkan sebuah Dana Pesangon Nasional (DPN), sebuah kantong bersama yang diisi dari iuran kecil setiap perusahaan.Â
Mekanisme ini memindahkan beban pesangon yang berat dari pundak satu perusahaan ke sebuah sistem gotong royong nasional, memberikan kepastian bagi pekerja dan prediktabilitas bagi dunia usaha.
Lebih jauh lagi, kita perlu mendobrak dikotomi usang antara fleksibilitas dan keamanan. Indonesia bisa mengadopsi model "Fleksibilitas Terproteksi" (Flexicurity), di mana kemudahan rekrutmen bagi perusahaan diimbangi dengan jaring pengaman sosial yang luar biasa kuat dari negara: tunjangan pengangguran yang layak, pelatihan ulang yang intensif, dan bantuan penempatan kerja yang proaktif.Â
Terakhir, mari gunakan kekuatan pasar untuk mendorong kebaikan melalui skema Sertifikasi "Perusahaan Berbudaya Kerja Adil". Perusahaan yang terbukti memperlakukan pekerjanya dengan hormat dan adil akan mendapat "karpet hijau"---prioritas dalam tender pemerintah dan insentif pajak. Ini mengubah kepatuhan dari sekadar kewajiban menjadi sebuah keunggulan kompetitif.
Pada akhirnya, tuntutan rakyat ini adalah sebuah undangan untuk refleksi dalam Mencegah PHK Massal. Apakah kita ingin terus menambal sebuah rumah yang rapuh setiap kali badai datang, atau kita memiliki keberanian kolektif untuk membangun sebuah rumah baru yang lebih kokoh, adil, dan manusiawi bagi seluruh penghuninya. Jawabannya akan menentukan wajah ketenagakerjaan dan keadilan sosial Indonesia di dekade-dekade mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI