Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... pemerhati literasi dan dinamika publik

Berkreasi di Gramasurya, sebuah entitas profesional yang memadukan expertise dalam bidang percetakan dengan visi penerbitan digital. Selalu tertarik dalam semesta Teknologi Informasi dan peran di lembaga pustaka dan informasi dengan ber ikhtiar mengembangkan literasi digital, bertujuan menciptakan masyarakat Indonesia yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga cerdas dan bijak dalam memanfaatkannya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dinamika Bangsa di Ujung Jempol, Siapa Menyiapkan Anak - Anak Kita?

31 Agustus 2025   18:38 Diperbarui: 31 Agustus 2025   18:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini lahir dari sebuah keresahan, dari pengamatan atas realitas dinamika bangsa Indonesia hari ini. Sebuah realitas di mana ruang-ruang digital telah menjadi panggung utama, tempat emosi kolektif kita dibentuk, digiring, dan tak jarang, dibenturkan.

Setiap pagi, jutaan dari kita tidak lagi membuka hari dengan secangkir kopi dan koran. Kita membukanya dengan rentetan notifikasi—sebuah banjir informasi dari semesta digital yang telah menjadi arena utama kehidupan kita. Di sana, di linimasa itu, kita tidak lagi sekadar membaca berita; kita diseret ke dalam medan tempur persepsi. Algoritma menyajikan apa yang ingin kita benci, buzzer menggiring emosi kita, dan kebenaran menjadi komoditas langka yang terkubur di bawah longsoran hoaks dan propaganda.

Dinamika politik bangsa kini tidak lagi diputuskan di ruang sidang paripurna atau dalam debat kandidat yang terjadwal. Ia dipahat, detik demi detik, melalui jutaan ketukan jempol di layar gawai. Perdebatan sengit tentang kebijakan publik direduksi menjadi meme yang saling serang. Wajah lawan politik diubah menjadi karikatur kebencian. Dialog, seperti yang diserukan oleh banyak pihak termasuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam menanggapi gejolak massa baru-baru ini, telah menjadi barang mewah. Yang tersisa adalah adu kuat narasi, di mana validitas data tak lagi penting, yang utama adalah kecepatan penyebaran dan kekuatan sentimen.

Pengaruh semesta digital ini bahkan telah merangsek begitu dalam hingga memaksa para raksasa teknologi untuk turun tangan. Kita telah sampai pada titik di mana platform-platform media sosial global, karena khawatir konten kekerasan dan provokasi menyebar tak terkendali saat aksi massa memuncak, sampai harus memodifikasi hak siar para penggunanya di wilayah Indonesia. Fitur siaran langsung (live streaming) yang biasanya menjadi hak setiap individu, tiba-tiba dibatasi atau bahkan dinonaktifkan di titik-titik panas. Ini adalah sebuah penegasan yang ironis: jempol kita telah dianggap begitu berbahaya, sehingga platform yang memberikannya pun merasa perlu untuk menarik kembali sebagian kuasanya demi mencegah api yang lebih besar.

Inilah realitas kita hari ini: sebuah ekosistem digital yang secara inheren dirancang untuk memecah belah, karena perpecahan dan kemarahan terbukti menghasilkan engagement yang lebih tinggi. Kita, para orang dewasa, mungkin masih bisa terseok-seok beradaptasi, mencoba membedakan mana kawan mana lawan, mana fakta mana fiksi.

Namun, kita melupakan satu hal yang paling krusial. Di tengah medan perang digital ini, ada jutaan anak-anak kita. Mereka bukan penonton; mereka adalah penduduk asli dunia ini. Mereka tumbuh dan bernapas dalam udara digital yang telah kita racuni bersama.

Setiap hari, tanpa kita sadari, kita membiarkan mereka menyerap pelajaran paling berbahaya: bahwa caci maki adalah hal yang wajar; bahwa perbedaan pendapat harus dibalas dengan perundungan; bahwa menghakimi orang lain tanpa data adalah sebuah keberanian; dan bahwa empati adalah sebuah kelemahan. Sekolah mengajarkan mereka rumus Phytagoras dan sejarah Kerajaan Majapahit, namun siapa yang mengajarkan mereka cara memverifikasi sebuah berita sebelum membagikannya? Kita bangga mereka bisa membuat presentasi PowerPoint, tapi apakah kita pernah mengajari mereka cara merespons sebuah komentar yang menyakitkan dengan adab dan welas asih?

Kita telah melakukan sebuah kelalaian kolektif yang fatal. Kita memberikan gawai paling canggih ke tangan anak-anak kita—sebuah alat yang mampu mengakses seluruh pengetahuan manusia sekaligus menjadi senjata pemusnah massal karakter—tanpa pernah membekali mereka dengan buku panduan etika dan perisai kebijaksanaan. Kita membiarkan mereka masuk ke dalam hutan belantara digital yang buas tanpa peta, kompas, apalagi bekal.

Maka, jangan heran jika gejolak di jalanan hari ini akan menjadi pemandangan yang lebih sering kita saksikan di masa depan. Karena kita sedang membesarkan sebuah generasi yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan amarah, bukan dengan musyawarah. Sebuah generasi yang fasih mengetik, namun gagap merasa.

Menyalahkan politisi, platform media sosial, atau para pendengung adalah jalan pintas yang tidak akan membawa kita ke mana-mana. Ini adalah masalah sistemik yang menuntut solusi sistemik. Sudah saatnya kita berhenti hanya menjadi pemadam kebakaran. Kita harus mulai bekerja di hulu, di ruang-ruang kelas, di tempat di mana karakter bangsa ini ditempa.

Melihat kondisi darurat ini, sebuah pertanyaan mendesak harus dijawab bersama: di mana peran negara, khususnya sistem pendidikan, dalam mempersenjatai generasi masa depan kita? Sudah saatnya para ahli pendidikan, praktisi komunikasi, dan pembuat kebijakan duduk bersama untuk merumuskan sebuah kerangka yang serius. Mungkin dalam bentuk kurikulum "Adab Digital dan Etika Berbangsa". Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah kebutuhan mutlak. Sebuah vaksinasi darurat untuk nalar kritis, empati, dan etika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun