Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah untuk Murid ‘Rijek’

26 April 2021   09:31 Diperbarui: 26 April 2021   09:40 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Sakura mekar saat musim semi di kampus Hankuk University for Foreign Studies (HUFS) di Yongin. Foto oleh Ivan Adilla

Mungkin, maksudnya rejected, ‘ditolak’. Tak lolos dalam proses pengujian mutu. Tapi dalam penggunaan sehari-hari, kata itu lebih sering dimaknai ‘barang rusak’. Nah, adakah murid ‘rusak’? Tentu saja ada. Setidaknya itulah yang diungkapkan seorang kepala sekolah dalam sebuah pertemuan. Peristiwa itu diceritakan teman, yang menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Suatu hari teman saya itu mengunjungi dan memantau sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Padang. Kepadanya ditunjukkan berbagai fasilitas sekolah,data guru-guru dan tentu saja data siswa beserta nilai dan minat mereka. Pada pertemuan siang harinya, kepala sekolah mengeluhkan ‘nasib malang” sekolah mereka.

“Beginilah keadaan sekolah kami. Tak banyak yang bisa kami lakukan sebagai guru, karena sekolah ini hanya menampung murid-murid ‘rijek’”, ujar kepala sekolah.

“Maksud Bapak?”, tanya teman saya dengan heran.

“Yaaah,maksud saya, kami harus menampung murid yang tak diterima di sekolah lain. Mungkin karena nakal, malas,bodoh, atau gabuangan dari semuanya...”.  

 “Murid di sini rata-rata pemalas dan nakal-nakal. Susah kita..”, ujar seorang guru wanita.

“Betul, Pak. Berpakaian saja mereka tak mau rapi. Apalagi berpikir...”, kata guru yang lain.

“Kemaren saya membimbing mereka praktek memasak. Tak ada yang beres rasa masakannya. Sayur yang keasinanlah. Sambal yang gosong....”

“Benar sekali... minggu lalu saya membimbing praktek memasak roti, rotinya pada bantat semua. Dan kuenya tak ada yang karuan bentuknya...”. Tanpa direncanakan,  pertemuan itu beralih menjadiajang menumpahkan keluh kesah.Guru mengadukan kesulitan mendidik disebabkan kekurangan murid-muridnya. 

Setelah sesi keluh kesah itu, maka giliran teman itu bertanya.

          “Kalau begitu, apa yang bapak dan ibu guru harapkan dari murid-murid di sekolah ini?”

“Tentu saja mereka jadi ahli masak atau ahli tata busana yang baik dan terkenal...”

“Semuanya seperti itu?”
            “Kalau tak semuanya, paling tidak sebagian besarlah...”, jawab seorang guru.

“Bagaimana kalau ternyata ada siswa yang tak bisa memasak atau menjahit busana, tapi justru lebih senang memotret masakan atau peraga busana. Atau lebih ahli berjualan bumbu masak, membuat bentuk cetakan kue, menjual bahan-bahan....”

“Tentu saja mereka tidak lulus. Karena itu tak sesuai dengan tuntutan kurikulum....”

***

Sebagai sosok yang Maha Sempurna, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan mubazir. Dan manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Tuhan sudah membekali setiap manusia untuk mereka hidup dan berjuang di bumi ini. Maka penolakan terhadap murid karena pemalas, bodoh dan seterusnya sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap Tuhan dengan kesempuranaan-Nya.

Konon, tak terlalu sulit menemukan guru penuh prasangka seperti itu. Yang menyesakkan dada adalah maka bagaimana mungkin kita bisa mempercayakan pendidikan anak-anak kita pada guru dengan kesombongan luar biasa seperti itu?

***

Tiga mahasiswa saya diputuskan bersalah oleh pengadilan dan harus meringkuk di penjara untuk masa tiga bulan. Mereka tertangkap mengisap ganja saat acara perkemahan di luar kampus. Sebagian besar civitas akademika menyalahkan tindakan mereka, yang dianggap telah mencoreng nama almamater. Untung sekali, pejabat bidang kemahasiswaan memiliki pandangan berbeda. Ia mendampingi dan memberi semangat kepada mahasiswa itu layaknya orang tua mereka.

Suatu saat dalam masa penahanan itu, saya berkunjung ke penjara tempat mereka di tahan. Setelah berbasa-basi, saya menyerahkan empat buku tebal untuk mereka baca di penjara. Di antaranya, Mushashi, dua jilid dari Trilogi Pulau Buru, dan Riwayat Hidup Muhammad, karya Haekal.

“Wah... apa mungkin kami bisa membaca tumpukan buku sebanyak ini..?”, tanya mereka ragu. Keraguan itu beralasan.Di kelas, mereka termasuk mahasiswa yang malas membaca.

Selesai menjalani masa hukumannya, buku itu dikembalikan pada saya.

“Untung sekali Bapak bawakan buku ini untuk kami”, ujar mereka berterima kasih.

“Kenapa?”

“Karena kalau di luar kami tak mungkin betah membacanya..”

Keluar dari penjara mereka malah menjadi mahasiswa yang rajin membaca. Beberapa kali mereka mendatangi saya untuk mendiskusikan dan meminjam buku. Salah seorang dari mereka kemudian menjalani profesi dalam bidang penulisan; dunia yang dulu sama sekali tidak dia senangi. Sekarang ia bahkan menjadi pimpinan organisasi jurnalis di daerahnya.

Seorang lainnya menjadi pemilik usaha toko grosir yang sukses. Setelah naik haji, ia mendirikan biro jasa travel umrah. Dengan usaha itu ia membantu orang mengujungi tanah suci di mana Nabi Muhammad berjuang, wilayah yang ia bayangkan saat membaca Riwayat Hidup Muhammad.

***

Seorang mahasiswa kehilangan dompetnya saat naik bis kota dari arah Jalan Sudirman menuju Air Tawar, Padang. Di dalam dompet itu tersimpan kartu mahasiswa dan uang kuliah yang harus dia bayarkan. Tentu saja ia jadi panik. Kami sedang duduk di warung kampus ketika mahasiswa itu menceritakan nasib malangnya. Seorang mahasiswa lain, panggil saja Buyung, bertanya.

“Kapan hilangnya?”

“Tadi siang, sekitar jam 11-12..”

Malam harinya, Buyung datang membawa dompet itu lengkap dengan isinya. Beberapa lama kemudian kami baru tahu bahwa Buyung ternyata koordinator ‘anak bola’ alias pencopet di wilayah tempat kehilangan itu. Dia hanya perlu informasi tentang jam kehilangan, agarbisa melacak siapa pencopet yang ‘bertugas’ pada jam itu. Biasanya sehabis Magrib kelompok mereka akan berkumpul untuk melaporkan hasil perolehan hari itu. Saat itulah Buyung  bisa mendapatkan dompet temannya yang tadi dilaporkan hilang.

Meski kami tahu dia pentolan dunia kriminal, Buyung kami terima layaknya mahasiswa lain. Di kampus, Buyung mengikuti berbagai kegiatan ekstra; sejak dari futsal, musik hingga teater. Sebagai preman, Buyung memiliki kemampuan sosialisasi dan adaptasi yang bagus dibanding mahasiswa lain. Ia mudah berteman dengan siapa saja. 

Dengan kemampuan itu memburu hal yang ingin dipelajarinya. Untuk belajar Bahasa Inggris, dia berteman dengan banyak mahasiswa dari jurusan itu dan menghafalkan lagu-lagu. Ketika ingin bisa menulis, ia mengunjungi temannya yang biasa menulis. Dua tahun setelah tamat, ia diterima sebagai guru teater di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Setelah itu ia pindah profesi sebagai wartawan kriminal, dan penyiar radio. Kini ia memimpin sebuah grup teater dan membuat film.

Dua peristiwa di atas meyakinkan saya bahwa semua anak didik punya potensi baik dalam diri mereka. Tugas guru dan sekolah adalah memberi stimulus dan latihan agar potensi itu berkembang dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun