Kesantunan Menurut Sudut Pandang Linguistik
Kesantunan lebih lanjut dibahas pada salah satu sub-bahasan analisis wacana dalam ranah pragmatik, yakni kaidah kesantunan (politeness principle). Di sini, saya hanya akan membahas ‘kulitnya’ saja.  Jika ternyata teman-teman tertarik untuk mempelajari politeness principle lebih lanjut, saya menyarankan untuk membaca buku Pragmatics and Discourse karya Joan Cutting, ya.
Cutting dalam buku tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang dikaji linguistik dalam subbab  politeness principle ini bukan berkaitan dengan ‘tindakan’ seperti makan menggunakan tangan kanan atau membungkuk saat mau melewati orang yang lebih tua, tetapi lebih mengarah pada pola-pola pertuturan, yakni pilihan-pilihan dalam berbahasa.
Lantas, Apakah Berbahasa Halus = Berbahasa Santun?
Menurut KBBI, santun berarti halus dan baik budi bahasanya. Loh, berarti bahasa halus sama dengan bahasa santun, dong?
Termasuk, tetapi tidak terbatas pada bahasa halus. Dalam linguistik, berbahasa halus tidak sama dengan berbahasa santun. Kesantunan (dalam ranah linguistik) dapat tercapai bila pilihan bahasa yang kita gunakan mampu menciptakan situasi yang baik dan menguntungkan lawan bicara sehingga lawan bicara merasa tidak terbebani atau terganggu dengan isi dan maksud tuturan yang kita sampaikan.
Hal itulah yang mendasari perbedaan berbahasa halus dengan berbahasa santun.Â
Pertanyaannya:Â Apakah teman-teman pernah bertemu dengan seseorang yang tuturnya halus, tetapi anehnya teman-teman malah merasa tidak nyaman bahkan terbebani saat mengobrol dengannya? Nah, salah satu penyebabnya adalah orang tersebut belum memenuhi standar kesantunan yang dimaksud.
Anakku tekun dan rajin belajar, jadi wajarlah kalau dia sering menjadi juara kelas dan lulus ujian nasional dengan nilai terbaik. Kalau anakmu ada prestasinya tidak?
Kalimat di atas merupakan contoh bahasa yang halus, tetapi tidak santun. Hal ini dikarenakan pertanyaan ‘kalau anakmu ada prestasinya tidak?’ berpotensi mengancam muka— image atau harga diri— lawan bicara (face threatening acts) sehingga tercipta situasi di mana lawan tuturnya merasa tidak nyaman meskipun pilihan kata yang digunakan sudah termasuk halus (tidak mengandung bahasa kasar, umpatan, makian, dsb).
Kesimpulan: Mampu Berkata Halus, Bukan Berarti Bisa Berbahasa Santun