Beberapa kali kami berpapasan dengan truk-truk besar, mobil-mobil kecil tanpa suara. Angin malam sangat segar tapi mataku tak bisa melihat pemandangan. Jalanan mulus, banyak kelokan. Kadang-kadang aku merasa melewati rumah-rumah penduduk, terkadang seperti ruang kosong atau pepohonan besar. Jalan terasa sangat panjang dan kecepatan Thiru tetap. Konsentrasinya hebat. Aku tak merasa tak aman. Kubiarkan tubuhku mengikuti gerakan motor Thiru, miring atau tegak. Aku merasa diriku yang lain tetapi tak kupikirkan lagi. Benar kata Thiru, aku mengantuk. Kadang-kadang aku seperti tersentak, menyadari aku sudah tertidur sekian detik.
Kami tiba tengah malam di rumahnya. Mataku perih karena mengantuk dan sudah sesekali tertidur di motor tadi. Badanku memerlukan sesuatu untuk bertumpu. Aku tak mendengar kata-kata Thiru, tetapi melihat tempat tidur, aku berbaring dan terlelap, sampai pagi.Â
Aku bangun disambut hujan pagi yang merdu. Seperti biasa Thiru sudah tak ada di kamar. Di luar kamar, aku disergap vokal penyanyi perempuan yang menyanyikan lagu berbahada asing dengan suara melengking-mendayu diiringi musik tradisional. Thiru menjerang air di dapur. Mulutnya ikut menggumamkan lagu tadi. Aku memeluk pinggang Thiru yang, sudah pasti, segera ditepisnya.Â
"Selamat pagi, Sayang," sapaku.
"Hai, Putri Tidur. Tidurmu sangat lelap. Kamu tidur paling lama padahal aku yang bekerja keras," sindirnya.
"Ya, kamu pahlawanku. Tapi kamu yang paling banyak makan."
"Is it? Seharusnya tak kubiarkan kamu tidur di kasurku. Kamu tahu ada berapa banyak bakteri menempel di tubuhmu sejak semalam karena tak mandi."
"Kamu kejam sekali!" desisku.
"Mandilah, supaya bakteri itu tidak beranak-pinak di tubuhmu! Aku sudah menjerang air panas. Jadi, tidak ada alasan kamu kedinginan!" katanya sambil mengantarkan air panas ke kamar mandi.
Tiba-tiba sesosok tubuh perempuan berkerudung berdiri di luar pintu depan yang terbuka. Satu tangannya memegang gorden, melongok ke dalam.
"Thiru!" jeritku.Â