Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dalam Kamu, Kamu dalam Aku

1 Oktober 2022   12:43 Diperbarui: 1 Oktober 2022   12:48 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Ayo, ikut! Kamu pasti suka lingkungan dan orang-orang di sana!" ajak teman saya.

Itu hari Minggu. Teman saya mengajak saya beribadah di satu jemaat anak muda. Pendetanya masih usia 30-an tahun.

Ruang ibadahnya kecil. Mungkin cukup untuk 50 orang. Tapi hari itu yang hadir sekitar 30 orang. Terhitung pianis dan liturgis. Suasana terasa santai.

Ibadah dimulai. Seorang pemuda berambut ikal berdiri di depan pengeras suara. Ibadah Minggu akan segera dimulai, katanya. Dia mengajak jemaat untuk hening sejenak sebelum ibadah. Setelah itu ia memimpin doa. Pemuda itu sedikit tambun, wajahnya seperti baru bangun tidur,  berkaos merah dan bercelana jins. 

Ibadah apa-apaan ini, batin saya bertanya-tanya. Saya biasa beribadah di gereja mainstream yang tertata dan serius. Pelayan ibadah berpakaian kemeja putih, bercelana panjang atau rok hitam, bersepatu mengilap dan rambut yang rapi tersisir. Berbeda dengan pemandangan di depan saya ini. Saya jadi tidak dapat berkonsentrasi pada ibadah karena merasa ini salah.

Lalu khotbah. Seorang berdiri di mimbar yang transparan. Rambutnya pendek hampir plontos, kulitnya lebih terang daripada liturgis tadi. Dia mengenakan kemeja batik dan bercelana panjang berbahan kain. Saya agak tenang, sekarang dapat berkonsentrasi.

Pendeta muda itu mulai berkotbah. Ia menyampaikan perjuangan seorang pendeta di Sumatera yang membela tanah adat. Kemudian berkisah puluhan karyawan perusahaan tambang di Papua yang diputus hubungan kerja tanpa kejelasan. Lantas cerita seorang ibu penyintas 65 yang menuntut keadilan atas peristiwa yang terjadi padanya. 

Persoalan-persoalan yang tidak pernah saya dengar di gereja. Jiwa saya terusik. Betul kata teman saya. Gereja anak-anak muda ini berjuang dari hal-hal yang nyata dan memberi bantuan secara riel.

Selesai ibadah, kami makan bersama. Nasi, kangkung tumis, tempe goreng, telur, sambal. Makanan sederhana tetapi nikmat luar biasa. Setelah itu cuci piring bersama dan membereskan ruang, bersama. 

Belum pernah saya berada di perkumpulan seperti ini. Yang menerima kehadiran siapa saja tanpa mempertanyakan status. Laki-laki perempuan sama saja. Semua diterima dengan tangan terbuka. Siapa pun dirimu. Kelak saya tahu ini perkumpulan kristen progresif. 

Saya berkenalan dengan seorang bertubuh mungil, berwajah oriental. Saya tidak dapat menerka apakah dia laki-laki atau perempuan. Seorang gadis berambut panjang mendekat, diperkenalkan kepada saya sebagai pasangannya. Karena perkataan itu saya menyimpulkan dia laki-laki. Minggu berikutnya saya baru tahu, dia ternyata perempuan, yang menurut dokter, kelebihan hormon testosteron. 

Dia penyintas kekerasan fisik oleh ayahnya. Dia kabur dari rumah karena tidak tahan dengan siksaan dari ayah kandung yang tidak menerima keberadaannya. Ayahnya hampir membunuhnya dan mengatakan dia penyebab neraka keluarga. Dua tahun dia terlepas dari keluarga dan hidup cukup tenang dengan pasangan, setelah ditolong oleh anggota gereja ini.

Setelah itu tiap minggu saya kenal orang-orang baru di perkumpulan yang belum bernama ini. Saya berkenalan dengan mereka yang dibuang oleh keluarga karena orientasi seks yang dianggap tidak wajar. Mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka yang terlalu menderita karena dibuli oleh pasangan hidup, oleh masyarakat. Dan kisah manusia dengan keanehan dan ketidakbiasaannya, nyata dan ada.  

Saya seperti bangun dari tidur. Ke mana saja selama ini. Saya tahu tiap manusia punya penderitaannya sendiri. Tapi penderitaan dari kawan-kawan di sini, ekstra ordinari. Bagi saya penderitaan yang kepala saya belum pernah mencernanya. 

Lalu tibalah Natal. Kami akan merayakannya. Perayaan yang sederhana. Kami berencana bersama, memasak bersama, latihan nyanyi bersama, iuran sama-sama.

Pada hari-H, saya tiba lebih dulu di lokasi. Ternyata perkumpulan ini berjejaring dengan banyak komunitas. Ruangan penuh.

Tiba-tiba di dekat saya, datang seorang yang saya lagi-lagi tidak dapat menerka, laki-laki atau perempuan. Dia duduk agak di depan saya. Dia menutup kepalanya dengan kain seperti perempuan tetapi penampilan fisiknya seperti laki-laki. Dan saya merasa terganggu dengan kehadiran orang yang belum saya ketahui apa dan bagaimananya.

Lalu perjamuan kudus. Anggur dan roti gepeng dibagikan ke semua jemaat. Pendeta muda berdiri di depan. Ia berkata itu perjamuan terbuka dan siapa saja diundang untuk bersekutu dengan-Nya, yang dilambangkan dengan roti dan anggur.

Saya masih terganggu dengan kehadiran orang berkerudung tadi. Pendeta meminta tiap orang mengangkat roti lebih tinggi di atas kepala. Saya tak tahan lagi. Saya tidak mau bersekutu dengan orang di depan saya itu. 

Dia tidak layak, Tuhan, batin saya kesal, ditujukan kepada orang itu.

Pada detik sama saya mengatakan itu, saya mendengar suara tegas di dalam telinga saya, berkata, "Kamu juga!"

Saya kaget setengah mati mendengarnya. Kesadaran melingkupi saya. Seketika hati saya rontok. Saya telah dengan kejam menilai orang lebih rendah daripada saya. Saya menilai diri lebih pantas dan lebih baik daripada orang itu. Saya segera mohon ampun kepada Tuhan dengan berlinang air mata. Saya telah mencurigai orang itu. Saya telah melakukan hal yang tidak manusiawi. 

Selesai perjamuan, saya genggam tangan orang itu erat sambil berkata, selamat Natal. Saya lihat matanya bersinar. Di mata itu, saya melihat diri saya sendiri.

Hati saya diliputi damai. Sejak itu saya tak lagi memberi penilaian apa pun atas keberadaan seseorang. Setiap manusia adalah ciptaan Tuhan dan dicintai oleh Tuhan. Siapakah manusia bisa menghakimi manusia lainnya?

Is/01/10/22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun