Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Saluang, Musik Yang Makin Terdesak

3 Oktober 2015   22:58 Diperbarui: 3 Oktober 2015   22:58 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pengamen Saluang di Gunung Medan, musik yang makin langka (dok.Pribadi)"][/caption]Awal tahun 1990-an musikus Kenny G begitu fenomenal, dengan irama saxophone yang dia mainkan, begitu menyita perhatian khalayak penggemar musik Indonesia. Lagu ”Forever in Love” dengan iringan saxophone Kenny G mendominasi udara indonesia. Bahkan Presiden Amerika ketika itu, Bill Clinton Mendapat Applous luar biasa ketika mampu memainkan saxophone dengan sempurna.

Awal 1992, saya mengerjakan Proyek Kilang Minyak di Indramayu, di sini saya juga mengenal irama musik yang tidak kalah fenomenalnya, musik yang dikenal dengan Tarling –Gitar Suling- mendominasi udara Indramayu, diperdengarkan hampir setiap rumah, setiap stasiun Radio dan diputar hampir pada setiap hajatan.

Apakah musik dengan alat tiup hanya saxophone dan Suling saja? Apakah Kenny G dan Tarling saja. Ternyata tidak, di Jawa Barat ada Rebab dengan kendang dan suling, dalam Irama Dangdut, gak kebayang jadinya, kalau suling ditiadakan.

Bahkan pada musik tradisionol Minang, yang disebut Saluang, hanya menggunakan alat musik tunggal yang seperti suling, tetapi dengan bentuk lebih besar. Ditiup oleh sang peniup dalam waktu hampir satu jam mengiringi sang penyanyi, tanpa jeda henti sama sekali.

[caption caption="Rumah Makan Gunung Medan (dok.Pribadi)"]

[/caption]Kok saya tahu? Ya tahulah, wong musik saluang ini, menjadi musik yang sangat digandrungi oleh ayah saya yang asli Minangkabau. Ketika itu, jika malam hari, disaat Ayah sendiri, beliau sering mendengar musik ini. saya sebagai anak, yang lahir dan besar di rantau, tak sepenuhnya mengerti apa keindahan musik saluang ini. yang saya tahu, irama musik ini, mendayu-dayu dan isi syair yang dinyanyikannya berisi petuah atau kisah-kisah. Hingga tak mengherankan, jika satu lagu menghabiskan waktu yang demikian lama. Ketika saya tanyakan pada Ayah, mengapa tak terdengar jeda yang disebabkan oleh sang peniup saluang menghirup udara untuk bernapas. Ayah menjawab, itulah kehebatan peniup saluang, mereka dapat menghirup udara dan menghembuskannya dalam waktu yang bersamaan, sehingga tak perlu jeda untuk menghirup udara. Ketika itu, saya hanya mengangguk, tanpa mengerti sepenuhnya jawaban Ayah.

Cerita tentang saluang, agaknya tak akan pernah ada, jika saja saya tak mengunjungi Bukittingi pertengah September 2015 lalu. Dengan pertimbangan, saya memiliki waktu yang cukup lapang, maka saya memilih angkutan Bus. Melelahkan memang. Tapi, saya berharap, akan dapat banyak bahan tulisan dari kesan yang saya peroleh selama perjalan itu. Dan benar, saya dapat apa yang saya perkirakan itu. salah satunya Saluang yang saya tulis ini.

Malam itu, setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam, Bus yang kami naiki, memasuki daerah Gunung Medan. Di Daerah Gunung Medan itu, Bus akan berhenti untuk memberikan waktu bagi penumpang untuk makan, sholat, mandi dan sebagainya. Karena, ini adalah tempat istirahat terakhir sebelum akhirnya kami akan tiba di Bukittingi jam lima pagi.

Sesaat setelah turun, saya kaget, di pelataran depan Restoran, ada pengamen saluang yang sedang “in Action”. Tanpa membuang waktu, saya segera mengabadikan peristiwa langka itu. kapan lagi mendapatkan moment langka ini, kalau bukan malam ini, demikian kata hati saya. Agaknya, perilaku saya yang mengabadikan pemain Saluang itu, mendapat perhatian dari Pak Andy, seorang penumpang yang sedang beristirahat juga dalam perjalanan menuju Jakarta.

Kamipun berkenalan, Pak Andy ternyata banyak mengetahui tentang saluang. Menurut beliau, saluang yang saya lihat malam itu, bukanlah saluang yang asli. Melainkan sudah ada inovasi disana. Saluang yang asli hanya terdiri dari peniup saluang dan seorang penyanyi. Tetapi, yang saya lihat radi, sudah ditambah dengan alat “kencreng”. Tapi, masih menurut pak Andy, beruntung saya masih mendengar lagu-lagu yang dinyanyikan sebagai lagu asli.

[caption caption="Dijanjang "Ampek Puluah" inilah biasanya saluang dipentaskan (dok. Pribadi)"]

[/caption]Saluang adalah alat musik tradisionil khas Minangkabau, Sumatera Barat. Dimana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis dari jenis bambu talang. Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari jenis bambu Talang untuk jemuran kain atau Talang yang ditemukan hanyut di sungai.

Berbeda dengan Suling, saluang lebih sederhana pembuatannya, cukup melubangi bambu Talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Talang juga dikenal sangat baik digunakan dalam pembuatan lamang, salah satu makanan tradisionil Minangkabau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun