Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kampung “Megalitikum” Bena, Flores yang nan Eksotis

2 Agustus 2016   06:12 Diperbarui: 2 Agustus 2016   13:10 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Bena, dilihat dari Utara ke Selatan (dok.Pribadi)

Selesai dengan kegiatan di Seminari Mataloko, perjalanan diteruskan ke Bajawa. Tidak membutuhkan banyak waktu, akhirnya urusan di Bajawa selesai.

Waktu baru menunjukkan pukul satu siang. Lalu kemana selanjutnya? pilihan akhirnya jatuh, pada kampung Bena. Sebuah perkampungan Megalitikum yang terletak sekitar 19 km selatan Bajawa. Tepatnya berada di desa Tiwuiwu, kecamatan Aimere, kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Ada dua pilihan jalan, satu jalan yang tidak begitu berliku, namun ruas jalannya sangat sempit, sehingga jika berpapasan dengan mobil yang lain, akan membuat jantung berdegub kencang, tersebab di kiri-kanan jalan, jurang terjal yang landasannya gelap tidak terlihat. Sementara pilihan kedua, agak jauh dengan jalan berliku dan tikungan tajam, dengan kontur naik turun, tetapi ruas jalannya cukup lebar. Ketika kami, tanyakan pada beberapa pemuda yang bertemu di pinggir jalan, mereka menyebut jalan berliku naik turun itu sebagai “jalan Gajah”.

Untaian kepala Kerbau beserta tanduknya yang digantung (dok.Pribadi)
Untaian kepala Kerbau beserta tanduknya yang digantung (dok.Pribadi)
Kami memutuskan untuk memilih “jalan Gajah”. Dengan segala konsekwensinya. Maka dimulailah jalan menurun yang tiada henti, sementara tikungan patah-patah menghadang di depan. Di seberang jurang terlihat punggung Gunung Inerie begitu eksotik.  Sebanding antara keindahan yang tersaji dengan resiko yang kami hadapi.

Kondisi jalan menuju kampung Bena, perlu diberikan acungan jempol pada Pemda Ngada, jalan yang menurun dan menanjak tajam dengan belokan yang patah-patah itu, kondisinya begitu mulus. 

Setengah jam kemudian, tibalah kami di kampung Bena. Waktu seakan berhenti di kampung Bena, kami seakan keluar dari ujung time tunel lalu berakhir ke zaman Megalitikum. Sebuah perkampungan kuno yang masih dihuni masyarakat dengan bahasa yang kami mengerti. Hanya bedanya, bentuk rumah dan adat istiadatnya masih berada pada zaman Megalitikum.

Rangkaian batu pekuburan yang lazim terjadi pada masa megalitikum (dok.Pribadi)
Rangkaian batu pekuburan yang lazim terjadi pada masa megalitikum (dok.Pribadi)
Bentuk kampung Bena berbentuk perahu raksasa dengan ujung yang satu lebih tinggi dari ujung yang lain, ujung yang rendah berada di sisi utara dan ujung yang tinggi berada pada sisi selatan. Pintu masuk ke kampung Bena hanya melalui sisi pintu di sebelah utara. Antara sisi utara dan selatan itulah berderet rumah-rumah yang saling berhadapan. Itulah kampung Bena dengan jumlah 40 rumah.  Sisi kosong antara deretan rumah yang berhadapan itu, di jadikan halaman mereka, pada halaman itu berderet kuburan anggota masyarakat Bena.

Kuburan-kuburan yang masih tetap dipelihara dan dirawat, jelas terlihat sisa pembakaran lilin, sebagai bukti mereka mengadakan kebaktian di sana. Di antara beberapa kuburan, ada batu-batu berlempeng tipis dan panjang serta tajam yang terhunjam ke dalam tanah dan menjulang keatas, membentuk semacam kurungan. Dipercaya, di antara kurungan batu itulah letak mayat dikuburkan. Beberapa di antaranya juga,  ada yang pada ujung batu sisi atas diletakkan lempengan batu, sehingga membentuk semacam meja.

Rangkaian batu pekuburan itulah yang dinamakan megalitikum. Zaman batu besar.

Warga Kampung Bena sedang makan sirih dan menyapa tamu dengan ramah (dok.Pribadi)
Warga Kampung Bena sedang makan sirih dan menyapa tamu dengan ramah (dok.Pribadi)
Pada halaman itu juga, terdapat beberapa bangunan kecil yang bentuknya dua macam. Mereka menyebutnya dengan Bhaga dan Ngadhu. Bangunan Bhaga berbentuk pondok kecil tanpa penghuni yang merupakan miniatur dari rumah orang Bena, juga merupakan symbol nenek moyang perempuan. sementara Ngadhu, bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk. Merupakan symbol nenek moyang laki-laki. Tiang tunggal pada bangunan Ngadhu, terbuat dari kayu keras, karena pada tiang-tiang Ngadhu inilah hewan-hewan kurban digantungkan pada saat pesta adat.

Seorang pengunjung, yang berasal dari Mbay menceritakan pada saya, bahwa orang Bena menganut system kekerabatan mathrialchat. Garis keturunan dari Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun