Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Makam Mertua Soekarno, Ibu Amsi, Nan-Merana

17 September 2016   10:50 Diperbarui: 18 September 2016   00:19 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Ibu Amsi di Ende, Pak Usman.H.Harun berdiri disebelahnya, Perhatikan, tak ada nisan di sana, hanya tumpukan batu (dok.Pribadi)

Sudah ada atap, tanpa pagar pembatas dan tanpa penerangan (dok.Pribadi)
Sudah ada atap, tanpa pagar pembatas dan tanpa penerangan (dok.Pribadi)
Wanita mulia ini pula, yang acapkali mengingatkan Inggit, agar meninggalkan kesibukannya sejenak, untuk mendampingi Soekarno, menghibur Soekarno, manakala dilihatnya Soekarno sedang gundah. Wanita yang acapkali mengingatkan Inggit agar memasak masakan kegemaran Soekarno. Mertua bijaksana yang mengerti bahwa dalam “rasa” selera masakan, ada “rasa” yang terhubung dengan masa lalu, dengan tanah kelahiran dan dengan komunitas Soekarno di Jawa yang tercerabut paksa karena pengasingan itu.

Wanita yang memberikan kata putus, ketika Soekarno akan diberangkatkan ke tanah pengasingan Ende, apakah akan berangkat sendiri, ataukah membawa turut serta Inggit sebagai belahan jiwa, yang jika dibawa tentu akan membawa kesengsaraan untuk Inggt. Ditengah kegalauan Soekarno, Ibu Amsi menyatakan akan mendampingi Soekarno ke tanah interniran, itu artinya, Inggit juga akan ikut serta. Akhirnya keluarga besar itu (Soekarno, Inggit, Ibu Amsi dan Ratna Djuami) berangkat bersama, diikuti dua orang  pembantu (Muhasan dan Karmini).  

Wanita yang ketika meninggal, menyebabkan Soekarno terpukul hebat. Dengan tangannya sendiri Soekarno ikut mengangkat jenazah mertuanya ke tanah peristirahatan terakhir, yang ketika itu, masih berupa hutan di luar kota Ende. Soekarno pula, yang ikut turun ke liang lahat, lalu dengan tangannya sendiri, turut meletakkan jenazah sang mertua, di liang lahat.

Soekarno pula, yang memahat batu karang nan terdapat di bukit sekitar pemakaman, lalu, menjadikan batu nisan untuk mertuanya. Dengan tulisan Iboe Amsi.

Lalu, dimana semua jejak sejarah itu? Tak ada yang berbekas. Saya tertegun, apakah karna makam ini telah mengalami renovasi yang tidak selesai, hingga akhirnya, menghilangkan jejak sejarah itu. Tak ada nisan, tak ada keterangan sedikitpun.

Penulis di depan makam Ibu Amsi (dok.Pribadi)
Penulis di depan makam Ibu Amsi (dok.Pribadi)
Pada saya, pak Usman mengeluhkan makam yang tidak berpagar. Sehingga ketika malam hari, banyak anjing yang duduk-duduk di atas makam beliau. Sedangkan pada siang hari, banyak anak SMA yang menjadikan makam itu sebagai tempat pacaran.

Pada dinding, bangunan makam, saya lihat ada meteran listrik PLN. Namun, karena tidak ada yang mengurus, meteran itu seakan tak tak berpungsi. Lampu yang tersedia, juga, sudah tidak menyala. Kondisi yang sungguh memperihatinkan. Hilangnya, benda-benda yang memiliki nilai sejarah, tidak adanya batu nisan, tidak ada pagar, tidak ada penerangan dan dijadikan peristirahatan hewan di waktu malam serta ajang pacaran di waktu siang.

Pada saya, pak Usman.H.Harun, berjanji, akan membuatkan pagar besi dengan tangannya sendiri, jika ada mereka yang menyumbangkan dana untuk itu. Karena, beliau memiliki keahlian sebagai tukang las, juga, beliau akan mengunci pagar yang telah dibuat, serta menyalakan dan mematikan lampu makam. Beliau memberikan alamat lengkap beserta no hp untuk dihubungi.

Pada perjalanan pulang dari menziarahi makam Ibu Amsi, saya hanya bergumam, bangsa ini, memang belum patut menjadi bangsa besar, selama belum bisa menghargai para pahlawannya dengan layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun