Alkisah ada seorang ibu-ibu guru ngaji yang diminta mengajar privat mengaji anak-anak salah satu tetangganya. Jarak rumahnya dengan rumah si pengundang sekitar 10 menitan jalan kaki. Belajarnya enam hari dalam sepekan. Mengajar tiga orang anak.
Di bulan pertama digaji 100 ribu rupiah. Di bulan berikutnya tidak digaji sama sekali. Padahal si pengundang tersebut terlihat mampu. Rumahnya gedong, punya usaha gilingan padi dan travel. Adapun si guru ngaji tersebut bukan orang yang berada.
Itulah sekelumit potret nasib guru ngaji di zaman ini.
Mari kita melihat ke belakang. Ke masa puncak kejayaan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah. Guna menyaksikan betapa besar perhatian negara terhadap para ulama, dan betapa fantastisnya gaji para guru ngaji dan ulama saat itu.
Dalam kitab an-Nafaqt wa Idratuh f ad-Daulah al-'Abbsiyyah, karya Dr. Dhaifullah az-Zahrniy (hal. 202) disebutkan, bahwa gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para mu'adzin. Yaitu sebesar 1000 dinar pertahun (-+ 3,9 M, berarti perbulan 325 juta).
Sedangkan para ulama yang sibuk dengan al Qur'an, yakni mengajar ilmu al Qur'an dan juga mengurusi para santri, gajinya adalah 2.000 dinar (-+ 7,8 M, berarti perbulan 650 juta).
Adapun ulama dengan kemampuan khusus yang mengkaji ilmu-ilmu al Qur'an, mengumpulkan riwayat hadits dan juga ahli ilmu fiqih memperoleh gaji 4.000 dinar pertahun (-+ 15.6 M, berarti gaji perbulan 1,3 M)
Selain gaji umum, tercatat ada beberapa ulama yang diberi gaji khusus oleh negara karena jasanya yang dianggap besar. Semisal di masa Khalifah al Watsiq, ia memberi gaji seorang ulama yang bernama al-Jari, awalnya 100 dinar perbulan (-+ 390 juta), lalu ia menaikannya menjadi 500 dinar (-+ 3,9 M)! Khalifah Harun ar-Rasyid pernah memberi Imam Malik dana sebesar 3000 dinar (-+ 11,7 M) untuk membeli rumah.
Inilah salah satu rahasia mengapa ilmu dan peradaban umat Islam berjaya di masa itu. Karena para guru dan ulama diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa sepenuhnya! Pemerintah sangat menghargai mereka.
URGENSI SINERGI