Mohon tunggu...
Dwintya Saffira Tulangow
Dwintya Saffira Tulangow Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kesehatan/Keperawatan

Mahasiswi Keperawatan STIKes Mitra Keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Pentingnya Edukasi Kesehatan Reproduksi Karena Maraknya Pernikahan Dini di Masa Pandemi

22 April 2022   09:22 Diperbarui: 22 April 2022   09:27 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepuluh juta pernikahan anak tambahan mungkin terjadi sebelum akhir dekade. Terjadinya wabah Covid -- 19 menjadi ancaman meningkatnya angka pernikahan pada perempuan yang masih sangat muda. 

Bahkan sebelum wabah COVID-19, 100 juta anak perempuan berisiko menikah di bawah umur dalam dekade berikutnya, meskipun ada pengurangan yang signifikan di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir. 

Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi wanita muda di seluruh dunia yang menikah sebagai anak-anak telah menurun sebesar 15 persen, dari hampir 1 dari 4 menjadi 1 dari 5, setara dengan sekitar 25 juta pernikahan yang dihindari, suatu keuntungan yang sekarang terancam (Ali & Asrori, 2010). 

Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19 tahun (BPS, 2020).

Di masa krisis, norma gender yang berbahaya dan kekerasan seksual sering diperburuk. Penutupan sekolah direspon terhadap krisis, seperti yang dialami selama wabah Ebola Afrika Barat 2014 - 2016 dan sekarang Covid-19 semakin meningkatkan kemungkinan remaja perempuan akan terpapar berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dan risiko kehamilan remaja dimana insiden kekerasan seksual telah meningkat. Selama wabah Ebola di Sierra Leone, penutupan sekolah terbukti meningkatkan kehamilan remaja di beberapa komunitas sebanyak 65 persen. 

Selanjutnya diungkapkan oleh sebuah penelitian yang melacak kehidupan 4.700 wanita di Sierra Leone selama krisis Ebola, peningkatan kehamilan sebagian besar disebabkan banyaknya waktu di luar sekolah yang mengakibatkan pada anak perempuan menghabiskan lebih banyak waktu dengan laki-laki daripada mereka berada di sekolah, yang mengarah ke kemungkinan yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko dan peningkatan risiko kekerasan seksual dan eksploitasi (Budiman & Riyanto, 2013).


Menurut penelitian Ali (2015) dampak pernikahan usia dini sangat mempengaruhi berbagai segi kehidupan terutama kualitas ibu dan kualitas bayi sebagai berikut :

1. Kualitas Kesehatan Ibu

  • Kehamilan dini akan membuat ibu kurang terpenuhi gizi bagi diri sendiri
  • Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi
  • Beresiko meninggal pada usia dini
  • Meningkatnya angka kematian ibu
  • Menurut Study epidemiologi ibu muda terkena kanker serviks. Semakin muda wanita memiliki anak pertama, semakin rentan terkena kanker serviks
  • Resiko terkena pengakit seksual.

2. Kualitas Kesehatan Anak

  • Berat bayi lahir akan cenderung lebih rendah dari bayi normal, karena kebutuhan nutrisi ibu hamil harus lebih banyak dan keduanya sangat membutuhkan nutrisi.
  • Bayi yang dilahirkan berisiko kekurangan gizi, oleh karena itu rentan kena penyakit yang mengakibatkan meninggal.

3. Kualitas Rumah Tangga

  • Banyak pernikahan usia dini berbanding lurus dengan angka perceraian, sehingga banyaknya kasus perceraian akan meningkat yang merupakan dampak dari pernikahan usia dini.
  • Ketidak cocokan hubungan antar orang tua maupun mertua.
  • Kurang mampu untuk adaptasi dan sosialisasi.
  • Keterbatasan ekonomi karena tidak mempunyai pekerjaan yang layak, dan mencetak generasi miskin.

4. Kekerasan Rumah Tangga, Meninggal dan Putus Sekolah.

Penyelamatan Anak memperkirakan sebanyak 10 juta anak tidak akan pernah kembali ke sekolah karena pandemi, sebagian besar adalah perempuan. 

Anak-anak tidak hanya akan kehilangan sekolah, tetapi juga dapat kehilangan pendidikan seks komprehensif yang menyelamatkan jiwa, menempatkan anak perempuan pada risiko kehamilan remaja yang berisiko tinggi. Persalinan adalah penyebab utama kematian di antara anak perempuan berusia 15-19 tahun (Hartiningsih, 2010). 

Save the Children mengatakan bahwa pemerintah di seluruh dunia memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa anak perempuan dapat melanjutkan pendidikan mereka selama penutupan sekolah dan kembali ke kelas ketika aman untuk melakukannya, dan layanan kesehatan rutin terutama perawatan kesehatan seksual dan reproduksi tersedia. 

Penutupan layanan kesehatan tersebut selama fase akut pandemi telah digambarkan sebagai "menghancurkan" bagi kesehatan perempuan dan anak perempuan (Hidayat, 2008).

Sebelum pandemi, sangat sedikit negara yang mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk mengakhiri pernikahan anak pada tahun 2030. Pandemi telah menimbulkan pertanyaan apakah tujuan tersebut mungkin perlu dikerjakan ulang. Banyak perempuan dan anak perempuan sudah tidak memiliki akses yang memadai ke pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi dan layanan sebelum COVID-19.

Seperti yang disoroti oleh laporan World Vision sebelumnya, pandemi telah berlanjut mengganggu layanan kesehatan seksual dan reproduksi esensial di seluruh dunia, termasuk prenatal, bersalin, dan perawatan pasca melahirkan, dan pemeriksaan rutin untuk ibu dan anak-anak mereka untuk memastikan nutrisi dan imunisasi yang tepat. 

Fasilitas yang sudah tegang telah menjadi lebih membentang, kelebihan beban, terbatas dalam jumlah layanan yang disediakan atau ditutup. Wanita dan anak perempuan, termasuk mereka yang berada di Afrika sub-Sahara, menghadapi tantangan yang semakin besar untuk mengakses layanan dan informasi kesehatan vital (Jahja,2011).

Selain itu, banyak wanita hamil dan anak perempuan yang cenderung tidak mencari perawatan kritis sebelum dan sesudah melahirkan karena takut tertular COVID-19 di fasilitas kesehatan. 

Dalam kasus kehamilan dini atau remaja, kekerasan seksual adalah bentuk paling umum dari berbasis gender kekerasan yang berujung pada kehamilan. Ini termasuk antara lain, pemerkosaan dan eksploitasi seksual  (Hidayat, 2008). World Vision memperkirakan bahwa hingga 85 juta lebih banyak anak perempuan dan laki-laki di seluruh dunia dapat terpapar secara fisik, seksual dan/atau kekerasan emosional akibat karantina COVID-19. 

Kemiskinan mendorong eksploitasi seksual remaja putri sebagai sarana kelangsungan ekonomi keluarga atau individu. Orang tua yang dilanda kemiskinan dapat beralih ke cara eksploitatif untuk mengurangi beban keuangan rumah tangga atau melengkapinya.

Eksploitasi seksual terhadap anak perempuan baik yang dilakukan oleh anak laki-laki mereka usia sendiri atau lebih sering oleh orang dewasa di masyarakat sering dilihat sebagai satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup di berbagai komunitas yang didukung World Vision, termasuk di Afrika sub-Sahara. 

Gadis-gadis yang ada di sekolah juga berisiko mengalami eksploitasi seksual oleh teman sebayanya dan bahkan guru untuk membayar biaya pendidikan mereka, seperti biaya sekolah, transportasi, buku pelajaran dan makan (Kusmiran, 2011).

Perkawinan anak tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak perempuan dan anak-anak mereka, tetapi juga merupakan beban ekonomi yang substansial bagi negara-negara. 

Peningkatan pencapaian pendidikan dan kesehatan anak perempuan, serta peningkatan pendapatan, kekuatan pengambilan keputusan dan kontrol atas hak-hak reproduksi mereka adalah sedikit dari konsekuensi positif dari mengakhiri pernikahan anak, bersama dengan dampak positif pada pengurangan kematian ibu dan bayi, dan dari kekerasan pasangan intim. 

Menjauhkan anak perempuan dari pernikahan dini akan menguntungkan negara dan masyarakat secara keseluruhan, meningkatkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi mereka serta menghemat triliunan dolar ekonomi global (Hidayat, 2008).

Upaya -- upaya pencegahan untuk mengurangi meningkatnya pernikahan dini di masa pandemic ini adalah :

1. Sosialisasi terkait dampak pernikahan dini kepada remaja yang bertujuan memberdayakan anak dengan informasi terkait pernikahan dini, guna mencegah terjadinya pernikahan usia dini mengingat usia mereka yang masih sangat muda

2. Anjangsana ke tetangga lingkungan sekitar yaitu bertujuan untuk silaturahmi kepada orang tua dan memberikan wawasan kepada orang tua bahwa pendidikan lebih utama dari pada memilih menikahkan anak pada usia dini

3. Mengedukasi anak terkait kesehatan dan reproduksi :

  • Pengetahuan bahwa perempuan bisa hamil dengan 1 kali hubungan seksual
  • Penularan HIV/AIDS dapat dikurangi jika berhubungan seksual dengan satu pasangan yang tidak memiliki pasangan dan penggunaan kondom
  • Memiliki pengetahuan komprehensif seputar HIV/AIDS
  • Mengetahui satu atau lebih gejala PMS pada laki-laki dan perempuan
  • Mengetahui tempat penyedia layanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PNMCH, 2012)

4. Meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak

Pencegahan pernikahan anak merupakan salah satu target yang menjadi agenda tujuan pembangunan berkelanjutan. Penyadaran kepada orang tua bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting diberikan untuk membangun keluarga yang sehat dan berkualitas. 

Bahwa bukan hanya sekedar berupa sosialisasi dan pemberian informasi, pemerintah desa juga wajib bersikap tegas dan konsisten dalam memberikan ijin kepada warganya untuk menikah muda (Thahir & Husna, 2021). 

Jika perempuan sering terpapar edukasi, harapannya adalah perempuan akan lebih melek tentang kesehatan. Sehingga mampu menentukan untuk menunda pernikahan ataupun kehamilan diusia dini.

Referensi :

Ali, M., & Asrori, M. (2010). Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara.

Ali, S. (2015). Perkawinan Usia Muda Di Indonesia Dalam Perspektif Negara Dan Agama Serta Permasalahannya. Jurnal Legislasi Indonesia, 5(10), 1--28. https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/405/0

BPS. (2020). 10 Provinsi dengan Pernikahan Perempuan Usia Dini Tertinggi pada 2020. 2020.

Hartiningsih. (2010). Generasi Orang Tua Kepada Anak Melalui Proses Sosialisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Hidayat, A. A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data, Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.

Jahja. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Kusmiran, E. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika.

S, K. S. W., & Health, C. S. (2012). 22 R EACHING CHILD BRIDES.

Thahir, A. H., & Husna, N. (2021). Upaya Pencegahan Meningkatnya Pernikahan Dini Di Masa Pandemi Covid-19: Studi Pendampingan Pengabdian Masyarakat Di Desa Ngetos Kabupaten Nganjuk. Abdimas Indonesian Journal, 1(2), 113--131.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun