Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pesona Camba

18 Agustus 2014   20:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:13 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berjarak 89 kilo dari Makassar, wilayah itu disebut Tangkuli. Bagi yang tidak terbiasa dengan kata Makassar, wilayah ini ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Tidak begitu luas. Hanya dibatasi dengan dua selokan. Dimulai dari selokan di barat, begitu mendapatkan selokan yang kedua, maka itu sudah akhir dari tempat itu. Secara adminsitrasi kelurahan disebut Lingkungan Gattareng.

Tidak ada yang istimewa dari daerah ini. Kata seorang kawan, Haji Wahyuddin, pengusaha muda otomotif dari Soppeng, Camba hanyalah tempat kencing. Dimana orang yang mampir karena perlu istirahat, sekaligus membuang hajat kecil. Perjalanannya ke Soppeng kadang memerlukan rehat dan buang air, itu dituntaskan di Camba. Wajar saja kalau beliau menyatakan itu. Tidak ada yang salah.

Setelahnya, di grup Makassar Backpacker ada anggota yang meminta rekomendasi untuk bulan madu. Dengan sigap saya mengetikkan kata Camba, dengan catatan kalau perlu suasana gunung. Setelah saya tekan tombol enter, baru mulai bertanya-tanya, apa yang akan didapatkan di Camba sana.

Mungkin karena pengalaman saja. Saya mulai menghabiskan malam-malam bersama istri usai akad nikah, dimulai dari Camba. Ditemani hawa dingin yang tidak memerlukan pendingin ruangan. Ini mungkin keberkahan tersendiri untuk penduduk Camba. Hawa dingin adalah anugrah. Tidak sedingin Malino. Hanya saja ketika musim kemarau, perjalanan ke masjid di shubuh hari tetap saja memerlukan tambahan jaket untuk menghangatkan badan.

Sama sekali tidak ada istimewa yang perlu diketikkan tentang Camba. Kecuali karena ini adalah kampung halaman. Tempat dimana menghabiskan masa sekolah dasar. Tidak lebih dari itu. Setelah mulai menapaki Ujung Pandang, tidak pernah kembali lagi dalam waktu lebih dari sebulan. Bahkan di saat pelaksanaan pernikahan, hanya menghabiskan empat belas hari sudah termasuk persiapan. Saat diantar ke Tamalanrea pertama kali, itulah hari terakhir untuk menikmati kehangatan keluarga di Camba. Setelahnya, hanya pulang untuk berlibur. Bahkan, ketika ini saya mulai ketik, sudah hampir satu semester tidak pernah pulang ke Camba.

Padahal, dalam kurun waktu yang sama, menjelajah sudah sampai ke Bangkok, Ho Chi Min, Phnom Phen, dan juga Malaka. Sepertinya “Camba terlalu jauh” jika ditempuh dalam perjalanan. Begitulah canda saya ketika bertemu dengan keluarga di pelataran parkir Tamalanrea saat mereka berdua mengantar anaknya. Sang anakpun akan menyelesaikan enam tahun di Tamalanrea dan mungkin saja akan mengalami takdir yang sama dengan saya. Camba tidak akan didiami lebih dari sebulan lagi sejak mulai berada di tempat itu.

Berarti agenda Pemerintah Kabupaten Maros selanjutnya adalah membangun jalan alternatif ke Camba. Dengan keterbatasan untuk menambah kapasitas jalan yang sudah ada, maka perlu jalan yang sama sekali baru. Ketika kemacetan menyergap, maka perjalanan Maros ke Camba ditempuh sampai empat jam. Ketika Desember lalu menghadiri pernikahan sepupu, perjalanan ke Camba sepertinya sebuah antrian yang tidak berkesudahan. Arus barang dengan truk yang diangkut ke Bone dan sebaliknya menjadi penambah arus kendaraan. Sementara sisi jalan di Pattunuang sampai Bengo tidak ada pilihan karena hanya ada jurang dan bukit.

Rangkaian kata Pesona Camba saya kenal ketika kampanye pemilihan bupati Maros 2010-2015. Akan segera dilakukan pemilihan lagi di April 2015. Hanya saja, lima tahun segera akan berakhir tidak ada apa-apa program spektakuler berkaitan dengan Camba sebagai sebuah destinasi. Maros masih saja dikenal hanya dengan Bantimurung, dan Leang-leang. Diantara keduanya terbuka untuk melakukan pengembangan daerah wisata seperti cagar alam Karaenta, bentangan Kars, dan tentu saja desa wisata di Camba, pilihannya bisa Patanyamang ataupun Benteng.

Dalam soal Camba, beberapa kekhasan wilayah ini. Ada hutan kemiri rakyat, lalu sawah tadah hujan, tidak terbilang anggrek, dan spesies tanaman lainnya yang bisa dieksplorasi. Ada buah paccui, dan terro, di seentaro hutan. Pengalaman ini kalau “dijual” akan menawarkan atraksi yang spesial.

Sawah tadah hujan yang menghasilkan beras Camba. Di Pasar Terong, Makassar, harga beras Camba di atas rata-rata beras dari wilayah lain. Bahkan memiliki penggemar tersendiri. Ini bisa dilakukan pengembangan pada merek dan kemasan. Termasuk mengedukasi petani untuk meproduksi beras organik. Setelahnya, beras ini bisa menjadi ole-oleh dari Camba yang dikemas sebagai buah tangan. Perlu sebuah kelompok usaha ataupun koperasi untuk menggerakkan ini dengan supervisi dinas terkait.

Pada desa wisata perlu dilakukan penataan. Dengan memilih Patanyamang yang berada di pegunungan, maka wisatawan akan mendapatkan pengalaman mandi di air pancuran, udara segar, dan juga keheningan ketika menjauh dari kebisingan kota. Perjalanan yang tidak lebih dua jam dari bandara Sultan Hasanuddin akan menjadi peluang tersendiri. Dimana dengan penyediaan transportasi langsung antara Mandai dengan Camba. Bisa juga ditambahkan dengan kesempatan untuk menunggang kuda dari Sepe ke Patanyamang. Bagi yang ingin berkendara mobil, jalan ke Patanyamangpun sudah dapat dilalui mobil.

Wisatawan yang masih di bangku sekolah atau kuliah dapat saja memperoleh sebuah pengalaman baru ketika di Patanyamang. Langsung menikmati sajian tuak atau gula merah yang diolah secara tradisional. Ataupun mereka akan langsung menyaksikan bagaimana air yang dimanfaatkan menjadi tenaga listrik. Pengalaman sederhana, tetapi ini akan membuat mereka memahami kehidupan dengan perspektif yang lebih baik.

Camba tetap saja tidak akan berarti apa-apa bagi yang lain. Kecuali kita yang lahir di sana menghabiskan waktu sekolah dasar lalu tidak pernah lagi kembali. Maka, Camba menjadi impian sepanjang usia untuk didiami kembali. Hanya saja, urusan hidup tidak memberikan kesempatan untuk itu. Camba menjadi pesona saja, dicinta tetapi tidak terjangkau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun