Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gunung Emas Dimiliki Rakyat Merana

23 Oktober 2012   14:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:29 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak keberhasilan Kabupaten Jembrana di Bali memberikan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang mereka sebut dengan istilah gratis, maka kabupaten dan kota serta beberapa provinsi mencoba menjiplak program ini. Tetapi dalam prakteknya tidak mengambil inspirasi dari Jembrana hanya dijadikan slogan semata-mata. Padahal dalam terminologi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), pendidikan adalah hak. Maka, mestinya negara menyediakan pendidikan tanpa perlu menyebutnya gratis. Ini semua salah satunya karena pemekaran dan kekuasaan yang melokal. Sekedar mengambil hati rakyat, padahal sesungguhnya apa yang terjadi praktik di lapangan tidak seindah yang dipidatokan.

[caption id="attachment_219518" align="alignnone" width="385" caption="Alam karunia Ilahi"][/caption] Ini juga dijiplak di kabupaten seperti kabupaten Kaimana, Sorong Selatan, Teluk Bintuni. Semuanya merupakan kabupaten yang dimekarkan di Provinsi Papua Barat. Selalu saja semangat yang diajukan para politisi bahwa dengan provinsi atau pemekaran daerah adminsitrasi baru akan memberikan kesejahteraan. Jangankan kesejahteraan, untuk mendapatkan penerangan di malam hari saja susah. Di Bintuni, listrik hanya didapatkan selama 12 jam sehari. Kadang pula setelah menyala tiga hari, sehari berikutnya akan padam. Padahal di seberang sana, tak sampai tiga jam perjalanan, British Petroleum (BP) justru terang benderang dengan gas alam yang berasa dari perut bumi Bintuni. Lalu biaya koneksi internet yang mencapai 20 ribu perjam. Bandingkan dengan Makassar yang hanya 3 ribu perjam. Rakyat menanggung biaya hidup yang relatif mahal. Mestinya pemekaran dilakukan setelah melakukan visitasi. Tidak saja mengakomodasi kepentingan politik. Lihat kabupaten Sorong Selatan. Dengan wilayah yang memang luas tetapi tidak ada sumber daya yang akan mengisi lowongan yang ada. Akibatnya lagi-lagi, pendatang yang menuai hasil itu. Pribumi hanya mendapatkan jabatan sebagai pegawai negeri sipil. Sementara perdagangan antar pulau dikuasai para pendatang. Bahkan hampir seluruhnya jalur distribusi barang sudah dikuasai orang luar. Ini menunjukkan bahwa tanpa persiapan apa-apa akhirnya dilakukan pemekaran. Rakyatlah yang menanggung beban itu. Ini mungkin terjadi akibat adanya dana yang besar tetapi alokasi yang tidak tepat. Para anggota dewan tidak memiliki kapasitas dalam mengalokasikan budget yang ada sehingga terkadang dana yang besar tidak menjadi jaminan bagi terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Pendidikan mestinya digunakan untuk membangun generasi yang akan datang tetapi perhatian dalam urusan ini kadang diabaikan. Mungkin juga tidak bermaksud melakukan itu, semata-mata hanya karena ketidaktahuan. Ini yang melingkupi sebagian besar para wakil rakyat di daerah-daerah pemekaran.  Elit politik akhirnya mengisi kolom-kolom itu dengan bintek (bimbingan teknis) di Jakarta atau kota-kota lain untuk mendapatkan SPPD (surat perintah perjalanan dinas) ditambah uang saku yang memadai. Artinya pajak yang dibayar lebih mengalir ke kepentingan orang-orang tertentu. Tidak tepat sasaran dan hanya menguntungkan segelintir. Ketika akan memekarkan satu wilayah tidak saja melihat daerah secara luas. Tetapi apa yang akan dicapai dengan daerah seluas itu. Sebagai contoh, di kota Sorong perusahaan asing bahkan masuk tanpa pernah memperhatikan pemberdayaan masyarakat lokal. Sebagian besar hanya menjadi tenaga satuan pengamanan saja. Tidak menempati tingkat manajerial. Ini menjadi ironi. Di tanah mereka sendiri, harus menjadi buruh. Lihat juga Kabupaten Mimika di Provinsi Papua. Kabupaten ini hanya menyandarkan 98% pendapatan bruto dari Freeport, perusahaan tambang asing. Rakyat yang merana di saat yang sama memiliki gunung emas. Akhirnya yang terjadi justru mereka kemudian menjadikan proyek pertengkaran untuk mendapatkan uang. Tanpa sadar ketika terjadi kebutuhan terhadap perut akhirnya warga Kwamki Lama harus memulai lagi perang suku supaya dana pengamanan turun.

[caption id="attachment_219520" align="alignnone" width="470" caption="Perang Suku"]

135100241176669602
135100241176669602
[/caption] Negara telah salah diurus. Sehingga dengan limpahan karunia Tuhan, justru kita dijajah asing. Apalagi yang kita miliki? Bank-bank kita justru pada dibeli Singapura dan Malaysia. Lalu perusahaan telekomunikasi kita dibeli juga oleh Malaysia, Qatar dan Singapura. Supermarket dikuasai Perancis dan Amerika Serikat. Distribusi barang bahkan yang asli produk Indonesia seperti kecap dan teh celup justru dimiliki asing. Ini menjadi bukti bahwa pemimpin kita tidak memikirkan kebersamaan. Kepentingan pribadi dan golongan yang menjadi orientasi utama. Kalau begini terus, maka kita akan terjatuh dalam kegagalan sebagai negara.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun