Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sedekah Hanya Lima Ribu Rupiah, Berkahnya Dunia Akhirat

18 Maret 2024   05:53 Diperbarui: 28 Maret 2024   23:00 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi/FB Isur Suryati 

Kejadian ini Saya alami di tahun 2007, di siang hari yang terik, sepulang mengajar di sekolah. Saya saat itu sebagai guru honorer. Saya melangkah di tengah hiruk-pikuk kota dengan hati yang terbebani oleh kekhawatiran. 

Angin panas mengusik kulit saya, sementara debu jalanan menari-nari di udara, mengiringi langkah-langkah berat saya. 

Rasa lapar dan dahaga menyerang perut, namun isi dompet hanya berupa lima ribu rupiah, uang receh yang tersisa dari kembalian jajanan semalam.

Sudah beberapa bulan sejak mengikuti ujian CPNS yang ketiga kalinya. Ujian kali ini adalah yang terakhir. Karena usia saya tidak memungkinkan lagi untuk bisa ikut CPNS di tahun depan. Jadi, jika kali ini gagal untuk ketiga kalinya, pupuslah harapan untuk menjadi guru yang berstatus pegawai negeri.

Menunggu pengumuman itu datang, hingga saat ini, saya masih dalam kebimbangan. Kehadiran seorang bayi yang baru saja lahir juga menambah beban pikiran saya. Bagaimana jika saya tidak lulus? Bagaimana saya akan memberi makan keluarga baru saya? Karena, saat itu suami juga sama-sama pegawai honorer yang gajinya tidak seberapa.

Langkah dan lamunan saya terhenti tatkala mata ini bertemu pandang dengan seorang anak kecil yang duduk termangu di trotoar. Tubuhnya tampak kurus kering, matanya berkaca-kaca, dan tangan kecilnya menengadah penuh harap. Rasa empati seketika menyapu hati.

"Adik, kamu lapar?" bisik saya dengan suara lembut.

Anak kecil itu mengangguk pelan, sementara air mata mengalir di pipinya yang kecil. "Ayah dan Ibu belum pulang, Kak. Aku lapar," ujarnya dengan suara serak.

Tanpa ragu, saya mengeluarkan seluruh uang receh terakhir yang ada di dompet, lima ribu rupiah, dan memberikannya kepada anak kecil tersebut. "Ini, belilah makanan ya. Janganlah bersedih," ucap saya dengan senyuman tulus.

Karena sudah tidak ada uang lagi di dompet, hari itu saya pulang ke rumah dengan jalan kaki. Tapi, walau kaki terasa pegal dan badan terasa linu. Ada sebuah kebahagiaan yang menjalar dalam hati. Bahagia karena di saat saya sendiri kesulitan, ternyata Alloh menggerakkan hati untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Ya, walau hanya Lima ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun