Saya sangat terkesan dengan film ini. Dalam hal hubungan guru mengaji dengan para murid, misalnya. Penuh dialog. Penuh interaksi. Meski setting film itu di sebuah kampung, tapi pola belajar-mengajar yang ditampilkan sesungguhnya sangat modern. Murid leluasa bertanya. Guru dengan penuh kesantunan, menjawab serta menerangkan dengan asyik.
Hingga, tak ada rasa takut pada murid, ketika menghadapi guru. Yang tercipta adalah rasa hormat. Murid merasa diayomi. Bahkan, perhatian sang guru, melebihi perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Dengan demikian, Ibrahim sebagai guru mengaji, mampu mengisi ruang-ruang kosong, yang selama ini belum diisi oleh para orang tua.
Secara harafiah, dakwah merupakan kegiatan menyerukan, mengajak serta memanggil manusia untuk beriman serta taat pada Allah. Menurut hemat saya, hal itu mestinya menjadi salah satu peran yang diemban oleh film religi, dalam konteks film sebagai media dakwah. Dengan kata lain, aspek dakwah dan aspek hiburan sudah sewajarnya menjadi dua komponen penting dalam tiap film religi.
Film Titian Serambut Dibelah Tujuh tersebut, malah lebih dari itu. Ibrahim sebagai guru mengaji, berasal dari daerah yang jauh. Ia datang ke kampung tersebut, membawa pembaruan dalam konteks proses belajar-mengajar. Ia membawa formula baru dalam mendidik anak-anak. Ia mencerahkan.
Sikap guru yang mendikte para murid, sama sekali tidak ada dalam kamus Ibrahim. Ia benar-benar mengajak para muridnya untuk beriman serta taat pada Allah. Melalui dialog, dengan berinteraksi, Ibrahim membawa para muridnya, hingga mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya sedang belajar.
Ya, belajar secara alamiah. Belajar dengan gembira. Konsep belajar yang demikian, itulah yang banyak dikembangkan di dunia pendidikan modern kini. Film Titian Serambut Dibelah Tujuh lebih dari sekadar film religi yang dikenal kini. Maka, sangat pantaslah Asrul Sani sebagai penulis skenarionya, meraih penghargaan Skenario Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1983 untuk film tersebut.
Kita tahu, anak-anak adalah masa depan. Mereka akan mengarungi kehidupan pada masa, yang tentu berbeda dengan masa sang guru. Sebagaimana pesan Sapardi Djoko Damono dalam petikan sajaknya Akulah Si Telaga:
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
Jakarta, 5 April 2023