Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Soekarno-Hatta: Gelar Akademik, Gelar Proklamator, dan Kesadaran Pendidikan

17 Agustus 2015   13:08 Diperbarui: 17 Agustus 2015   13:20 3092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soekarno lulus dari Technische Hogeschool te Bandoeng, pada 25 Mei 1926, sebagai Insinyur Teknik Sipil. Pada Dies Natalis ke-6 kampus tersebut, 3 Juli 1926, Soekarno diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Kemudian, pada 2 Maret 1959, kampus itu diresmikan menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Bung Karno sudah menjadi Presiden dan ia meresmikan ITB dengan berpidato tanpa teks, sambil bernostalgia menceritakan masa kuliahnya dulu. Di Bawah Bendera Revolusi adalah salah satu buku Bung Karno yang diterbitkan tahun 1959. Foto: senyum-itb.blogspot.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Dengan ilmu yang mereka miliki, dengan gelar yang mereka sandang, mereka pasti diterima jadi pegawai kolonial Belanda. Tapi, mereka telah memilih untuk menggunakan ilmu yang mereka miliki, untuk menjadi pejuang rakyat. Mereka jadi Proklamator, gelar terhormat dari rakyat.

Secara akademik, Soekarno meraih gelar Civile Ingeniuer, Insinyur Sipil, dari Technische Hogeschool te Bandoeng, yang sekarang kita kenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 1926. Ketika itu, ia masih berumur 25 tahun. Sementara, Hatta meraih gelar akademik sebagai sarjana ekonomi dari Handels Hoge School atau Rotterdam School of Commerce, yang kini menjadi Universitas Erasmus, di Rotterdam, Belanda, tahun 1932. Kala itu, usia Hatta 30 tahun. Soekarno-Hatta sudah meraih gelar sarjana secara akademik, jauh sebelum negeri ini merdeka. Pada masa itu, barangkali masih bisa dihitung, berapa banyak penduduk pribumi yang sudah bertitel sarjana. Artinya, potensi mereka untuk menjadi pegawai kolonial atau menjadi karyawan perusahaan Belanda, tentulah terbuka lebar. Tapi, mental mereka bukan mental pegawai, juga bukan mental karyawan[1].

Menggugah Kesadaran Belajar

Di Hari Proklamasi ke-70 ini, kita menyadari, sesungguhnya kita memiliki dua Bapak Bangsa, yang sejak awal sudah menanamkan spirit kemandirian. Mandiri dengan ilmu yang dimiliki. Soekarno-Hatta sekaligus juga mencontohkan, bahwa pendidikan itu penting, karena ilmu salah satunya bisa diraih melalui jenjang pendidikan. Ada tingkatan, ada proses, dan ada pendalaman[2]. Yang mereka buru adalah ilmu, bukan sekadar selembar ijazah untuk syarat melamar pekerjaan. Karena, pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak menyandarkan hidup pada ijazah yang telah mereka miliki.

Di banyak kesempatan, Soekarno memang kerap mencantumkan Ir. di depan namanya, sebagai singkatan dari Insinyur. Sebaliknya, relatif sangat jarang kita menemukan singkatan Drs. sebagai singkatan Doktorandus atau Doctorandus di depan nama Muhammad Hatta. Dengan kata lain, mereka menunjukkan sikap serta penghormatan pada jenjang pendidikan, tapi tak sampai tergelincir mendewakan gelar akademik tersebut. Barangkali, itulah yang disebut ilmu padi, yang kian berisi, kian merunduk.

Ketika puluhan tahun kemudian, kita menemukan ada sejumlah orang yang demikian tergila-gila pada gelar akademik, bahkan sampai memalsukannya[3], mungkin kita bertanya-tanya dalam hati: apa sesungguhnya yang hendak mereka gapai? Secara periodik, kisah ijazah palsu, muncul bergantian, yang kemudian diikuti dengan gegap-gempita janji pihak berwenang untuk melakukan pengusutan. Tapi kemudian, gempita janji itu surut dengan sendirinya, sampai kemudian kita menanti periode kisah ijazah palsu berikutnya.

Barangkali, sikap yang hangat-hangat tai ayam itu, adalah pertanda bahwa sesungguhnya pihak berwenang di negeri ini, tak sepenuhnya menunjukkan penghormatan pada jenjang pendidikan. Karena itulah, mereka tidak merasa perlu untuk mengeksekusinya hingga tuntas. Toh, orang banyak juga sudah lupa. Toh, media juga sudah tidak mengeksposnya. Apalagi penemu ijazah palsu atau pengungkap kasus ijazah palsu, tidak dengan serta-merta akan menjadi pahlawan pendidikan. Dengan kata lain, tidak ada kehormatan bagi mereka yang telah menegakkan reputasi dunia pendidikan tersebut.

Sejak ulang tahun ke-100 pada tahun 2013, sebagian besar gedung-gedung di kompleks Universitas Erasmus Rotterdam diberi nama alumni atau tokoh yang pernah berjasa bagi kampus atau kota Rotterdam. Gedung sebelah kanan pada foto kiri adalah Gedung Hatta. Gedung berlantai 17 dan berwarna kombinasi coklat tua-coklat muda, yang diresmikan pada tahun 2013 itu, memiliki 372 kamar dan berfungsi sebagai apartemen mahasiswa. Inilah satu-satunya gedung yang namanya diambil dari tokoh atau alumni non-Belanda. Gambar kanan, Hatta tampil sederhana tapi senantiasa berpikir mulia. Foto: kisahwisataku.com  

Inspirasi Pengembangan Minat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun