Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers Proklamasi vs Hoaks Reformasi

15 Agustus 2021   10:28 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredibilitas media di masa Proklamasi Kemerdekaan. Bagaimana dengan hoaks? Foto: isson khairul

17 Agustus segera tiba. Ini untuk ke-76 kalinya, kita merayakan Proklamasi Kemerdekaan. Ritual penting di perayaan tersebut adalah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta mengibarkan sangsaka Merah Putih. Di berbagai pelosok negeri, di perkampungan kumuh maupun di kawasan gedung mentereng, Merah Putih dikibarkan.

Soeara Asia dan Tjahaja

Bendera Merah Putih tersebut adalah identitas bangsa, lambang kedaulatan negeri, sebagai negara yang merdeka. Titik penandanya adalah deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Lagu Indonesia Raya menjadi komponen identitas bangsa, yang tak terpisahkan dengan Merah Putih. Menyatu-padu, sebagaimana halnya Soekarno-Hatta, dwitunggal Proklamator bumi pertiwi ini.

Kemerdekaan diproklamirkan. Lagu Indonesia Raya digelorakan. Seluruh rakyat harus tahu, untuk menyatukan spirit kebangsaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Dunia juga harus tahu, untuk mendapatkan pengakuan, sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang sudah merdeka. Sudah berdaulat.


Itulah salah satu peran pers, menyebar-luaskan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh penjuru bumi. Media pers yang ada pada tahun 1945 itu adalah radio dan surat kabar. Ada dua suratkabar, yang pertama kali memberitakan tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Soeara Asia yang terbit di Jogjakarta dan Tjahaja yang terbit di Bandung.

Soeara Asia dan Tjahaja adalah dua surat kabar propaganda Jepang, yang menjajah Indonesia. Meski koran penjajah, pengelola kedua media tersebut tak bisa mengingkari fakta bahwa negeri ini sudah merdeka. Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, kedua koran propaganda Jepang tersebut mem-publish berita tentang Kemerdekaan Indonesia.

Nyaris tak ada yang menyangsikan berita tersebut. Rakyat menyambutnya dengan penuh suka-cita. Itulah kredibilitas media, kredibilitas surat kabar di masa Proklamasi. Ahli media Herbert Marshall McLuhan menyebut, medium is message. Situasi kondisi Pers di masa Proklamasi tersebut, sangat berbeda dengan kondisi Pers di era Reformasi, yang tahun-tahun belakangan ini bising oleh media mainstream, media abal-abal, serta dominasi media sosial.

Hoaks menyebar serta menjalar ke mana-mana. Informasi membanjiri saluran digital. Tiap orang merasa memiliki otoritas untuk memproduksi serta menyebarkan informasi. Pemerhati media menyebut, kondisi ini sebagai tsunami informasi. Warga seakan berada dalam labirin, untuk menemukan informasi yang akuntabel, yang kredibilitasnya layak dipertanggungjawabkan.

Bambang Harymurti dan Atmaji Sumarkidjo

Bambang Harymurti, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, menyebut, hoaks adalah tantangan terbesar jurnalisme kini. Hoaks bukan hanya menjadi masalah bagi pers, tapi sudah menjadi masalah sosial, politik, ekonomi yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bagi pers, masa-masa ini merupakan proses untuk pers mencapai posisi yang lebih kredibel.

Dengan daya rusak yang demikian hebat, akan kah hoaks membunuh sendi-sendi jurnalisme yang mengedepankan akurasi serta kredibilitas? Atmaji Sumarkidjo, mantan jurnalis senior surat kabar Sinar Harapan, menilai, nilai-nilai pers benar-benar sudah punah oleh dominasi media sosial yang telah menguasai hajat hidup publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun